
Zakat Diberikan Kepada Santri, Bolehkah?
Zakat merupakan hal yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Zakat memiliki pengaruh signifikan dalam membangun keadilan sosial dan membantu perekonomian umat. Namun, seringkali muncul pertanyaan mengenai siapa saja yang berhak menerima zakat. Salah satu pertanyaan yang sering diajukan adalah, "Bolehkah zakat diberikan kepada santri?"
Dalam hal ini merujuk pada Al-Quran Surah At-Taubah (9:60), yaitu orang-orang yang berhak menerima zakat:
(1) Fakir. Orang yang sangat miskin dan tidak memiliki harta atau pekerjaan yang layak.
(2) Miskin. Orang yang memiliki penghasilan tetapi belum mencukupi kebutuhan dasar mereka.
(3) Amil Zakat. Orang yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.
(4) Muallaf. Orang yang baru masuk Islam dan memerlukan bantuan untuk memperkuat imannya.
(5) Riqab. Budak atau orang yang terjebak dalam perbudakan yang memerlukan biaya untuk membebaskan diri.
(6) Gharim. Orang yang berhutang untuk keperluan yang sah dan tidak mampu membayar hutangnya.
(7) Fisabilillah. Orang yang berjuang di jalan Allah, termasuk dakwah dan kegiatan sosial religius lainnya.
(8) Ibnu Sabil. Musafir yang kehabisan biaya di perjalanan.
Dari beberapa golongan di atas, santri atau pelajar yang berada di pesantren, umumnya terlibat dalam kegiatan belajar agama Islam. Banyak pesantren yang menyediakan kebutuhan pokok bagi santri. Namun, ada juga pesantren yang memerlukan dukungan dari luar untuk mencukupi kebutuhan para santri, seperti makanan, buku, pakaian, dan kebutuhan lainnya.
Dengan hal ini ada beberapa hal santri juga dapat termasuk orang-orang yang dapat menerima zakat, tetapi ada pandangan ulama juga tidak memperbolehkan santri menerima zakat, jika dimasukkan ke dalam golongan fii sabilillah.
Menurut Jumhur Ulama, santri tidak boleh menerima zakat kalau atas nama fii sabilillah. sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiah as-Shawi:
“Dan (Zakat juga diberikan) kepada orang-orang yang menegakkan agama Allah SWT. yakni mereka yang melaksanakan perang di jalan Allah SWT. yaitu orang-orang yang tidak mendapatkan harta fai’ (rampasan perang) meskipun tergolong kaya raya. Dan zakat itu digunakan untuk membeli peralatan perang, seperti: persenjataan, perisai dan kuda.” (hasyiah al-Shawi’ ‘ala Tafsir al-Jalalain, hal, 53)
Adapun menurut Imam Maliki, santri boleh menerima zakat. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiah as-Shawi:
“Orang-orang yang memprioritaskan seluruh waktunya untuk mencari ilmu, diperbolehkan menerima zakat, meskipun mereka tergolong kaya raya. Dengan syarat mereka sudah tidak mendapatkan jatah dari baitul maal. Karena sesungguhnya mereka itu termasuk golongan para pejuang.” (hasyiah al-Shawi’ ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 2, hal, 53)
Dari konteks orang yang berjuang dijalan Allah SWT memiliki banyak pandangan yang disesuaikan dengan keadaan saat ini.Di sisi lain, terdapat beberapa santri berhak menerima zakat dengan beberapa kondisi, yaitu fakir miskin dan ibnu sabil.
Banyak santri berasal dari keluarga yang kurang mampu dan memenuhi syarat sebagai fakir atau miskin. Jika mereka tidak memiliki cukup biaya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, maka mereka layak mendapatkan zakat.
Kadang-kadang, ada santri yang berasal dari daerah yang jauh dan kehabisan biaya selama perjalanan atau selama berada di pesantren. Mereka bisa masuk dalam kategori ibnu sabil.
Secara syar'i, pemberian zakat kepada santri yang memenuhi kriteria penerima zakat adalah sah dan diperbolehkan. Santri yang berasal dari keluarga miskin, atau yang berjuang di jalan Allah dengan menuntut ilmu agama, dan mereka yang memerlukan bantuan selama proses belajar, termasuk dalam golongan yang berhak menerima zakat.
Namun, penting bagi pesantren atau lembaga amil zakat untuk memastikan pendistribusiannya dilakukan dengan tepat dan transparan. Dengan demikian, manfaat zakat dapat dirasakan oleh mereka yang benar-benar membutuhkan, termasuk santri yang sedang menimba ilmu demi memperkuat iman dan pengetahuan agama mereka.