Kembali
image
Keislaman

Tradisi Ilmu dalam Islam

4 tahun yang lalu ● Dibaca 1382x

Menurut Prof Wan Daud, bangsa dengan tradisi ilmu yang sangattinggi akan memiliki pengaruh besar kepada bangsa lain yang jauh lebih besar jumlah rakyatnya, bahkan jauh lebih kuat bala tentaranya (Jurnal Al Insan, 2003). Karena itu, kekuatan sebenarnya dari sebuah bangsa adalah kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, bukan besar kuantitasnya, atau bahkan panjang usia berdirinya. Buktinya, India yang merupakan salah satu peradaban tertua justru belum semaju bangsa Eropa. Padahal, secara kuantitas India jauh lebih besar.

Karena itu, kita perlu mengambil pelajaran dari masa keemasan Islam sejak masa Rasulullah Muhammad SAW hingga daulah Abbasiyah. Di masa awal datangnya Islam, tradisi membaca dan tulis-menulis sangat tinggi. Ini berawal dari ayat pertama yang turun dan memerintahkan kaum muslim untuk membaca. Kemudian dilanjutkan perintah Rasulullah SAW kepada Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, dan beberapa sahabat lainnya untuk menuliskan ayat Alquran setiap diwahyukan kepada Rasulullah. Tak lupa kemudian membacanya hingga banyak sahabat yang hafal.

Saat itu tradisi membaca dan menulis sudah menjadi sebuah simbol kemuliaan. Bahkan, Ibnu Saad menyatakan, ”Bangsa Arab jahiliyah dan permulaan Islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang dapat menulis, berenang, dan melempar panah” (Jurnal Al Insan, 2003). Wajar bila kemudian para khalifah semacam Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali bukan sebatas hadir sebagai seorang pemimpin, namun mereka juga seorang pencinta ilmu pengetahuan.

Masa selanjutnya yang dipegang Daulah Umayyah boleh dikatakan sebagai bukti dari adanya kebudayaan keilmuan yang tinggi dalam Islam. Pada masa tersebut, umat Islam mulai bersentuhan dengan tradisi intelektual negara-negara yang ditaklukkan. Para ilmuwan mempelajari karya-karya ilmiah berbahasa Yunani dan Siria untuk selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab agar bisa dipelajari banyak orang. Artinya, mereka menyadari bahwa bangsa yang beradab adalah bangsa yang berbudaya ilmu pengetahuan.

Kegiatan itu dilanjutkan di masa Daulah Abbasiah, terutama pada masa Harun Ar Rasyid dan anaknya, Al Ma’mun. Dalam periode ini kegiatan keilmuan mencapai puncaknya. Pusat kajian dan penerjemahan didirikan dengan nama Bayt Al Hikmah. Tokoh semacam Hunayn Ibn Ishaq dan anaknya Ishaq bin Hunayn merupakan penerjemah dan peneliti selain tokoh-tokoh yang lainnya.

Saat itu hampir semua karya-karya Yunani dalam beragam bidang diterjemahkan. Kedokteran, astronomi, matematika, fisika, astrologi, bahkan filsafat seolah sudah berpindah dari bangsa Yunani ke Daulah Abbasiah. Boleh dikatakan kala itu bangunan peradaban mencapai masa kegemilangan karena ilmu pengetahuan yang dikembangkan di dalamnya.

Dua khalifah Daulah Abbasiah tersebut juga bukan hanya sebatas seorang negarawan, tapi juga pencinta ilmu. Buktinya, perpustakaan besar dibangun hingga mencapai 36 dan terbuka untuk umum. Budaya keilmuan lantas menyebar ke masyarakatnya yang terbuktidengan adanya seratus toko buku. Artinya, keinginan masyarakat untuk membaca sangat tinggi.

Pada masa al-Ma’mun, pengajaran diberikan langsung kepada murid-murid, seorang demi seorang. Kehidupan ini berlangsung dalam halaqah-halaqah yang diselenggarakan oleh ulama. Jika guru menghafal pelajaran atau dituliskannya diktat, dibacakan pelajaran itu dengan perlahan-lahan, lalu murid menulis apa yang dibacakan sang guru. Setelah selesai dibacakan, guru menerangkan hal-hal yang sulit dalam pelajaran yang didiktekan tersebut.

Keterangan itu dituliskan oleh murid di pinggir kertas. Pada masa itu menulis sudah diketahui kedudukan pentingnya hingga tidak pernah ditinggalkan. Pada akhir pelajaran, guru mengulang membaca pelajaran dan disuruhnya seorang pelajar membacakannya untuk membetulkan kalau ada pelajar yang salah menuliskannya. Dari diktat-diktat yang dituliskan itulah, lahir kitab-kitab tulisan tangan yang kemudian dicetak beribu-ribu naskah sehingga menjadi kitab masyhur.

Jika ditemukan orang cerdas, benar-benar tekun dan telah menguasai ilmunya, terbuka peluang untuk menjadi mufti, penasihat, atau tutor di rumah hartawan bagi sejumlah mahasiswa. Pengakuan sebagai ilmuwan dan status sosial yang disandangnya cukup menjadi justifikasi kerja keras mereka.

Memang harus disadari selain faktor agama, ada faktor sosial politik yang sangat mendukung terciptanya budaya keilmuan. Kekuasaan Daulah Abbasiyyah yang luas menjadikan para pencari ilmu sangat leluasa untuk menimba ilmu dari satu negara ke negara lain, dari Sevilla ke Baghdad, dari Samarkand ke Madinah, dari Isfahan ke Kairo, atau bahkan dari Yaman ke Damaskus.

Faktor ekonomi juga menjadi salah satu pendukung terciptanya budaya keilmuan yang tinggi. Orang berharta memberikan kontribusi pada para pencari ilmu. Pemerintah juga mengalokasikan dana khusus untuk para penuntut ilmu dan pengelola lembaga pendidikan. Di sekolah semacam Nizamiyah dan Aziziyah, para pengajar dan pelajarnya dijamin oleh badan wakaf. Artinya, para pencari ilmu tidak perlu memikirkan esok hari hendak makan apa. Ia fokus untuk terus membaca dan menuliskannya. Karena itu, karya-karya besar muncul dan dipelajarihingga sekarang.

Contohnya, Imam Nawawi (wafat 676 H) yang setiap hari belajar delapan cabang ilmu mulai subuh hingga larut malam. Atau ulama semacam Ibn Al Qayyim Al Jauziyah, Ibn Hajar, Al Mizzi, Ibn Katsir yang menyisihkan waktu kurang lebih 15 jam setiap hari untuk membaca dan menulis. Bahkan, ulama saat ini semacam Prof Dr Wahbah Zuhaili juga meluangkan waktunya sampai 15 jam hanya untuk membaca dan menulis.

Karena itu, perlu kita renungkan pernyataan Prof Wan Daud, yakni kejayaan atau kejatuhan suatu bangsa tergantung pada kuat atau tidaknya budaya ilmu bangsa tersebut. Ia mengatakan, pembinaan budaya ilmu yang terpadu dan jitu merupakan prasyarat awal dan terpenting bagi kesuksesan, kekuatan, dan kebahagiaan seseorang serta suatu bangsa. Suatu individu atau suatu bangsa mempunyai kekuasaan atau kekayaan tidak bisa mempertahankan miliknya atau mengembangkannya tanpa budaya ilmu yang baik. Malah dia akan bergantung kepada orang atau bangsa lain yang lebih berilmu.

”Kita telah melihat sendiri betapa beberapa negara minyak yang kaya-raya terpaksa bergantung hampir dalam semua aspek penting kehidupan negaranya kepada negara lain yang lebih maju dari segi keilmuan dan kepakaran. Unsur lain, yaitu harta dan takhta, bersifat eksternal dan sementara. Keduanya bukanlah ciri yang sejalan dengan diri seseorang atau suatu bangsa tanpa ilmu yang menjadi dasarnya. Sebaliknya, jika terbudaya dalam diri pribadi dan masyarakat dengan baik, ilmu bisa mempertahankan dan meningkatkan lagi keberhasilan yang ada sekaligus memberikan kemampuan untuk memulihkan diri dalam menghadapi segala kerumitan dan tantangan,” lanjutnya.

Maka, jika ingin memajukan bangsa dengan fondasi kokoh, budaya literasi harus ditingkatkan. Tujuannya, kita tidak menghamba kepada bangsa lain yang memiliki banyak kepakaran meskipun bangsa kita kaya akan sumber. (redaksi lazisnf)