Kembali
image
Keislaman

Syaban Persiapan Spiritual Ramadhan

3 tahun yang lalu ● Dibaca 443x

Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan merupakan trilogi tahapan tepat untuk perubahan ke arah kebaikan. Sebuah ungkapan ahli hikmah yang di kutip dalam buku Zubdah al-Waidzin, “Rajab adalah alat pembersihan badan (jasad), Sya’ban sarana penyucian hati (qalb), dan Ramadhan media penyusian jiwa (ruh)”.

Oleh sebab itu, ketiga tahap ini adalah tangga menuju kesempurnaan. Jiwa yang suci tidak akan dicapai apabila jasad dan hatinya masih kotor. Bisa juga dikatakan jika pembersihan badan dari dosa tidak dilaksanakan, maka penyucian hati dan jiwa itu sulit dilakukan, bahkan kemungkinan besar akan menuai kegagalan.

Sebenarnya, bisa saja tiga hal itu dilaksanakan dalam satu waktu secara bersamaan, khususnya di bulan Ramadhan. Namun, ini mungkin hanya mampu dilakukan sedikit orang, tentunya sangat berat dilaksanakan bagi orang-orang secara umum. Sangat dikhawatirkan, jika sampai usaha itu putus di tengah jalan hanya karena terlalu berat memikul beban. Akan sangat baik, start usaha menuju puncak kebaikan itu dimulai di hari jauh sebelumnya. Dapat dipastikan hasilnya akan jauh lebih baik dan sempurna.

Mengapa perlu penyucian? Sebab, hati (qalb) ini adalah pusat kepribadian dan pengendalian diri manusia. Para hukama’ menamakannya dengan ’Nafs an-Nathiqah’,Alquran menyebutnya ’Nafs al-Muthmainah’, semua ini berlawanan dengan ‘Nafs Hayawany’. Dua kekuatan diri ini saling berebut pengaruh untuk mengendalikan aktivitas manusia. Jika pemegang kendali ini salah, seluruh aktivitas tubuh juga akan mengikutinya. Begitu juga sebaliknya.

Namun, pengandalian akan dipegang hati jika didukung dengan usaha penyucian. Akibatnya, akan memunculkan jiwa yang tenang. Kondisi seperti khusyuk, takwa, mahabbah, rida dan qanaah, yakin, serta sabar akan menghiasinya.

Puasa Sya’ban adalah salah satu bentuk aktivitas yang bisa dilaksanakan. Dalam hukum fikih, kesunahan puasa ini sudah jelas dan tidak ada perdebatan di kalangan para ulama. Hal ini karena adanya beberapa hadis sahih yang menguatkannya.

Salah satunya, kesaksian Siti Aisyah ra yang mengatakan, ”Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa penuh selain bulan Ramadhan. Aku juga tidak pernah melihat beliau banyak berpuasa di bulan lain seperti halnya bulan Sya’ban. (HR Bukhari dan Muslim). Maka, puasa di bulan Sya’ban ini tidak bisa dipandang sebelah mata saja, sebuah amalan yang sangat luar biasa.

Selain itu, rahasia pelaksanan puasa ini terletak pada keistimewaan bulan Sy’aban itu sendiri. Yaitu, dilaksanaknya pembukuan catatan perbuatan baik ataupun buruk. Dengan logika sederhana, alangkah eloknya ketika pembukuan itu dilaksanakan seseorang melakukan aktivitas istimewa seperti puasa, tentu ada kesan lebih bagi pelaksana juga penerima laporan itu. Kata Rasulullah ”....ini adalah bulan ketika amal-amal diangkat kepada Tuhan semesta alam. Aku ingin amalanku diangkat ketika aku sedang berpuasa.” (HR An-Nasai).

Harapan dan kemungkinan besar yang bisa saja terjadi. Dengan puasa istimewa yang dilaksanakan waktu itu, Allah akan melipatgandakan pahalanya. Bisa juga jika ada laporan merah dalam pencatatan itu, Allah menghapusnya dan mengampuninya karena kasih sayangnya, memberikan hidayah kepada hambanya untuk berusaha mengisi hidupnya dengan kebaikan. Karena Dia yang Menghapus dan Menetapkan apa yang dikehendakinya.

Hanya, perlu sedikit diperhatikan pada hari ‘Syakk’. Prof Dr Wahbah Zuhaily menjelaskan dalam bukunya, ’al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu’. Ulama berbeda pendapat seputar hukum puasa hari syakk, yaitu tanggal 30 jika ada kesimpangsiuran ketetapan masuknya Ramadhan karena mendung. Ulama Hanafiyyah menghukumi makruh tahrim, Syafi’iyyah mengharamkanya ditambah dua hari sebelumnya, Malikiyyah dan Hanabilah hanya memakruhkannya. Namun, mereka sepakat memperbolehnya jika sudah menjadi kebiasaan seperti puasa Senin Kamis, puasa Daud, atau puasa nazar, kafarat qadha’.

Adapun pertengahan terkahir bulan Sya’ban, Ulama Syafi’iyyah juga mengharamkannya, dengan dasar hadits”Jika sudah lewat pertengah Sya’ban, jangan berpuasa”. Hadis ini hasan, namun dianggap daif oleh Imam Ahmad dan Imam yang lain sehingga tidak dijadikan pijakan hukum. Diperbolehkan menjalankannya dengan persyaratan sama pada hari Syakk, juga jika sudah memulainya pada pertengahan Sya’ban sebelumnya. Ada juga yang menyatakan hadis ini sudah di-takhsis oleh hadis larangan pada hari Syakk itu sehingga boleh saja menjalankanya. Namun, tidak usah risau dengan perbedaan ini. Pelaksanaan sesuai ketentuan adalah tujuan utamanya.

Di sisi lain, ibadah semacam puasa mempunyai peran sentral terhadap kebaikan manusia. Puasa mempunyai daya efektifitas yang luar biasa sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas spiritual dan mental. Puasa tak ubahnya seperti magnet yang menarik amal-amal kebaikan yang lain, juga sebagai perisai tangguh yang dapat menangkal perbuatan-perbuatan negatif yang sangat mungkin bisa mudah dilakukan ketika tidak sedang berpuasa. Maka, pembiasaan puasa di bulan ini menjadi media untuk peningkatan totalitas takwa di bulan Ramadhan nantinya. Wallah a’lam. (Isom Mudin/BQ)

Syaban Persiapan Spiritual Ramadhan