Kembali
image
Keislaman

Peran Guru; Menghadirkan Teladan Rasulullah

3 tahun yang lalu ● Dibaca 250x

Pada akhir 1980-an, ada satu kelompok kecil yang melakukan diskusi sederhana tapi cukup gayeng dan serius. Mereka perihatin atas perwkembangan akhlak anak bangsa generasi muda saat itu. Kegelisahan muncul karena setiap hari aktivitasnya sebagai remaja masjid. Di benaknya selalu yang dipikirkan bagaimana meningkatkan kualitas generasi yang akan datang. Topik diskusi yang dibahas menyangkut cara mengantisipasi akhlak kepribadian generasi muda masa datang.

Pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990- an itu, perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi belum sedahsyat sekarang. Pemancar televisi hanya TVRI. Satu-satunya hiburan yang murah bagi masyarakat dan anak- anak.

Kerisauan kawan-kawan aktivis remaja masjid itu berkecamuk. Pasalnya, di era itu para pakar dan inteletual memprediksi bahwa pada suatu saat nanti ada perkembangan informasi dan teknologi yang sangat pesat. Dengan ketajaman ilmunya, mereka menggambarkan bahwa akan terjadi arus informasi yang bertebaran sangat kencang bagaikan angin topan yang dapat menyambar ke mana-mana. Prediksi itu menjadi kenyataan. Tak selang beberapa lama, awal tahun 1990-an lahirlah kebijakan pemerintah yang membuka kesempatan untuk mengembangkan bisnis di bidang pertelevisian. Mulailah bermunculan bermacam-macam channel TV yang menawarkan berbagai program sesuai spesifikasi dan segmen yang diminati. Termasuk channel TV yang menyiarkan program luar negeri. Ada TV yang menyiarkan khusus musik dengan beragam alirannya. Ada TV program khusus fashion dengan berbagai model yang disajikan, TV khusus menayangkan film dengan berbagai cerita dan kisahnya, TV olahraga, TV berita, dan lainnya.

Dari fenomena suburnya industri pertelevisian itu, terbayang oleh aktivis remaja masjid bagaimana pengaruh negatif terhadap anak-anak generasi bangsa ini. Diumpakan sebuah rumah, bahwa rumah sebagai tempat berteduh agar terhindar dari hujan, udara panas, dingin, dan badai yang sangat kencang. Pada era tahun 1990-an, perumpamaan rumah ini masih mampu menahan berbagai terjangan iklim. Tetapi, bagaimana jika badai, hujan, dan cuaca itu menerjang secara bertubi-tubi dengan kekuatan sangat kuat. Tentu rumah itu tidak akan sanggup lagi menahannya.

Gambaran situasi 30 tahun lalu itu benar- benar terjadi saat ini. Arus informasi yang sangatdahsyatitutelahmenyerbutembok rumah yang kokoh sekalipun. Arus informasi masuk penjuru ruangan kamar-kamar seluruh penghuninya. Rumah-rumah itu saat ini sudah tidak mampu lagi membendung derasnya arus informasi.

Lompatan teknologi yang mencengangkan dengan fasilitas internet melahirkan media sosial yang setiap orang dapat berperan sebagai subjek ataupun objek. Setiap orang dapat menyebarkan informasi positif dan negatif yang sangat sulit dikontrol akurasi kebenarannya. Peristiwa kriminal, amoral, perkelaian antarremaja di suatu tempat sangat cepat tersebar secara masif. Kecepatannya setara dengan kecepatan cahaya.

Nyatalah sekarang ini dampak negatif perkembangan teknologi informasi menerjang ke mana-mana. Tak terkecuali lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang sangat diharapkan menjadi tempat yang
aman bagi anak-anak ternyata tidak mampu menahan derasnya badai tersebut. Yang lebih memprihatinkan, lembaga pendidikan keagamaan yang sangat didambakan sebagai pusatmenimba ilmu dan membekalan akhlak ternyata mendapat musibah yang sangat berat. Kasus yang menimpa beberapa pesantren menambah keprihatinan berbagai kalangan.

Belajar dari peristiwa yang terjadi beberapa pekan terahir ini, ada baiknya jika seluruh komponen bangsa masyarakat, orang tua, pemerintah, dan para pendidik untuk merenungkan kembali kira-kira apa yang harus dilakukan agar krisis moral ini tidak semakin memprihatinkan.

Pendidikan merupakan usaha yang sangat utama untuk memperbaiki karakter generasi bangsa masa datang. Maka, sangat perlu kiranya para pendidik untuk segera merenung, melakukan evaluasi. Apa ada yang salah dalam mengelola lembaga pendidikan ini. Sangat penting untuk segera kembali menata tujuan dan orientasi dalam melaksanakan pendidikan. Jiwa pendidik merupakan panggilan hati nurani perlu dijaga dengan sungguh-sungguh, jangan sampai luntur walaupun di tengah perubahan zaman yang cenderung menjauh dari nilai-nilai akhlak.

Ada baiknya dalam momentum memperingati kelahiran Rasulullah SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal 1444 H bertepatan dengan 8 Oktober 2022 segenap guru menyimak kembali bahwa tugas utama Rasulullah adalah memperbaiki akhlak umat manusia di muka bumi. Profesi guru sangat mulia karena pada hakikatnya guru adalah orang yang meneruskan risalah yang telah dilakukan oleh Rasululullah MuhammadSAW.

Perlu disadari lebih mendalam tugas guru atau ustaz, baik formal dan nonformal, sebagai berikut. Pertama, mendidik, yaitu meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Kedua, sebagai pengajar, yaitu meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ketiga, melatih, yaitu mengembangkan keterampilan untuk kehidupan siswa. Tugas guru itu akan lebih sempurna jika setiap guru dalam jiwanya terpancar akhlak Rasulullah. Gurulah yang mengukir jiwa dan raga generasi umat masa depan.

Pada hakikatnya, ilmu adalah cahaya atau nur dari Allah pencipta alam raya. Cahaya akan terpancar dengan terang jika yang memancarkan itu disertai hati yang bersih. Begitulah para ulama terdahulu. Mereka menyampaikan ilmunya disertai usaha lahir dan batin. Secara batin melakukan riadhah, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Dr.H. umar Jaeni, M. Pd. - Direktur Pesantren Alquran Nurul Falah)