Kembali
image
Fiqih

Pandangan Fikih Terhadap Jual Beli Secara Online Menurut Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA

6 tahun yang lalu ● Dibaca 5669x

Masalah transaksi jual beli dan percaloan online (internet) ini benarbenar merupakan masalah fikih kontemporer yang belum pernah dibahas dalam kitab-kitab fikih.

Karena itu, dalam paparan ini sedapat mungkin dikaitkan dengan item-item jual beli dan percaloan yang ada di kitab-kitab fikih.

Terkait dengan ketentuan pokok atau lazim disebut rukun dan syarat jual-beli, ada beberapa ketentuan pokok (rukun dan syarat) jual-beli, yaitu sebagai berikut.

Menurut mazhab Hanafiy, rukun jual-beli itu hanya satu, yaitu akad saling rela antara mereka (’an taraadlin) yang terwujud dalam ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Selain akad, mazhab Hanafiy menyebutnya sebagai syarat.

Sementara menurut jumhur fuqahaa’ (mayoritas ulama fikih), rukun jual beli itu adalah (a) penjual dan pembeli, (b) ijab dan qabul, (c) ada barang yang dibeli, serta (d) ada nilai tukar (harga).

Adapun syarat jual beli yang terpokok adalah orang yang berakad berakal sehat, barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya, barang yang diperjualbelikan ada pemiliknya, serta dalam transaksi jual-beli tidak terjadi manipulasi atau penipuan.

Nah, berdasarkan paparan di atas, dapat dibawa ke permasalahan pokok kali ini, yaitu jual-beli melalui online (internet) yang sebenarnya juga termasuk jual beli via telepon, SMS, dan alat telekomunikasi lainnya. Maka, marka yang terpenting adalah sebagai berikut.

  • Pertama, ada barang yang diperjualbelikan, halal, dan jelas pemiliknya. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW: ”Tidak sah jual-beli kecuali sesuatu yang dimiliki seseorang” (HR At-Turmudzi dan Abu Dawud).
  • Kedua, ada harga wajar yang disepakati kedua Pandangan Fikih Terhadap Jual Beli Secara Online belah pihak (penjual dan pembeli).
  • Ketiga, tidak ada unsur manipulasi atau penipuan dalam transaksi (HR Bukhari dan Muslim).
  • Keempat, prosedur transaksinya benar, diketahui, dan saling rela antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Hal ini sebagaimana makna firman Allah SWT: ”… kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara saling rela di antara kamu…” (QS AnNisaa’: 29).

Jika empat marka tersebut terpenuhi, sebenarnya jual-beli dengan cara apa pun tidak ada masalah, tetap sah, dan diperbolehkan. Apalagi jika suatu jenis transaksi itu sudah menjadi kebiasaan, walau menurut orang lain aneh, maka secara fikih tetap sah dan boleh. Dapat diambil contoh: Di desa-desa sudah biasa orang yang ke warung itu mengambil dan makan jajan sesuai kemauannya. Baru kemudian ketika akan membayar, si pembeli memberi tahu pemilik warung bahwa dia mengambil ini itu sejumlah sekian. Jadi, andaikata dia berbohong, pemilik warung tidak akan tahu. Keadaan demikian, berlangsung sejak dulu sampai sekarang dan tidak diketahui ada ulama yang keberatan.

Dalam perspektif ushul fikih, sepanjang hal-hal itu terkait dengan muamalah ijtima’iyyah (transaksi sosial kemasyarakatan), ini dapat disandarkan pada kaidah-kaidah berikut.

Pertama, al ’aadah mukhakkamah (adat/ kebiasaan yang baik itu dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk menetapkan hukum).

Kedua, al ashlu fil asy-yaa’ al-ibaakhah, khattaa yadullad daliilu ’alattahriim (pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya boleh sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya).

Berpijak dari landasan kaidah fiqhiyyah tersebut, jual-beli lewat online (internet) itu diperbolehkan dan sah. Jika secara kasuistis terjadi penyimpangan, manipulasi, penipuan, dan sejenisnya, maka secara kasuistis pula hukumnya diterapkan, yaitu haram. Karena itu, jika ada masalah terkait ketaksesuaian barang antara yang ditawarkan dan dibayar dengan yang diterima, berlaku hukum transaksi pada umumnya, bagaimana kesepakatan yang telah terjalin. Inilah salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab batalnya transaksi jual-beli dan dapat menjadi salah satu penyebab haramnya jual-beli, baik online atau bukan, karena terjadinya manipulasi atau penipuan.

Percaloan Online

Percaloan, makelaran, atau samsarah (Arab) adalah transaksi yang diperbolehkan dalam Islam dengan syarat-syarat tertentu. Allah SWT berfirman: ”Wahai orang-orang yang beriman, tepatilah akad atau perjanjian kalian” (QS Al-Maidah: 1). Dalam ayat ini, Allah Swt memerintahkan orang-orang beriman untuk menepati semua jenis transaksi, termasuk di dalamnya transaksi perdagangan dan percaloan.

Dalam sebuah hadis sahih diceritakan: ”Pada masa Rasulullah Saw, kami disebut dengan samasirah (makelar). Suatu ketika Rasulullah SAW menghampiri kami dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo. Beliau bersabda: ’Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang diselingi dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah (palsu), maka perbaikilah dengan (memberikan) sedekah’” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah).

Hadis tersebut menunjukkan, percaloan itu sudah ada sejak masa Rasulullah SAW. Beliau tidak melarangnya, bahkan menyebut mereka sebagai pedagang.

Percaloan merupakan pekerjaan yang secara riil dibutuhkan masyarakat. Sebab, ada sebagian masyarakat yang sibuk dan tidak bisa mencari sendiri barang yang dibutuhkan sehingga memerlukan makelar untuk mencarikannya. Sebaliknya, sebagian masyarakat ada yang mempunyai barang dagangan, tetapi tidak tahu cara menjualnya, maka dia juga membutuhkan calo/makelar untuk memasarkan dan menjualkan barangnya.

Dalam hal yang terkait dengan upah jasa makelar, para fuqaha (ulma ahli fikih) berbeda pendapat sebagai berikut.

Mayoritas fuqaha menyatakan, upah calo/ makelar harus jelas nominalnya, seperti Rp100 ribuatau Rp300 ribu dan tidak boleh dalam bentuk persentase seperti dapat 5% atau 10% dari hasil penjualan. Alasannya, upah calo/makelar itu termasuk dalam katagori ju’alah (sayembara), sedangkan syarat ju’alahharus jelas hadiah atau upahnya. Hal ini berdasarkan hadis bahwa Rasulullah SAW melarang seseorang menyewa seorang pekerja sampai menjelaskan jumlah upahnya (HR Ahmad).

Tetapi, fuqaha Hanabilah membolehkan seseorang memberikan upah kepada calo/makelar dalam bentuk persentase. Mereka berdalil dengan hadis bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Seorang muslim itu terikat kepada syarat yang telah disepakatinya, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram” (HR Abu Daud dan At-Tirmidzi).

Percaloan menjadi haram dan dilarang jika terjadi tindakan sewenang-wenang calo kepada konsumen dengan cara memeras, mengancam, dan mengintimidasi. Atau berbuat curang, tidak jujur, atau memonopoli suatu barang yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak, atau menaikkan harga secara berlebihan sehingga sangat memberatkan konsumen, dan sebagainya.

Juga diharamkan percaloan/makelaran bagi pegawai yang sudah mendapatkan gaji tetap dari kantornya, kemudian mendapatkan tugas melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk suatu proyek dan mendapatkan uang fee karenanya. Maka uang fee tersebut haram dan termasuk grativikasi yang dilarang dalam Islam dan dalam hukum positif Indonesia.

Zakat Perdagangan dan Percaloan Online

Semua hasil transaksi perdagangan ataupun percaloan, baik online maupun bukan, terkena kewajiban zakat apabila telah mencapai satu nisab (senilai sekitar 90 gram emas) dan sudah berjalan setahun (mencapai haul). Tetapi, banyak juga fuqaha yang membolehkan percepatan zakat (ta’jiiluz zakaah), asal sudah mencapai nishab, maka boleh dikeluarkan zakatnya tanpa harus menunggu setahun.

Sementara kadar zakat (miqdaaruz zakaah) yang harus dikeluarkan adalah 2,5% dari harta yang terkena zakat tersebut. Wallaahu a’lam.

Pandangan Fikih Terhadap Jual Beli Secara Online Menurut Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA