
Obat Sakit
Belajar dari seorang ibu, santri mengaji kelas TK alias Taman kawak-kawak, usianya 60 tahun lebih. Hadir setiap waktu dengan semangat, penuh senyum dan canda tawa. Kaki kanannya yang sudah rapuh ditopang oleh kruk sama sekali tidak mengurangi semangat belajarnya. Bahkan, ketika sang suami tidak bisa mengantarkan, beliau naik bemo dan becak sendirian. Subhanallah.
Ketika kelas berjalan memasuki bulan kelima, ia bercerita dengan berurai air mata. Cerita dahsyatnya, beliau baru saja menemui dokter yang merawatnya. Menurut keterangan dokter, beliau mengidap penyakit kanker mulut rahim stadium tinggi. Menurut analisis dokter pula, umur yang tersisa tinggal 3 bulan.
Vonis dokter atas umurnya, seperti sambaran petir di gelap malam, ia merenung dan berfikir tentang nasib yang sudah hampir pasti. Dalam tekanan yang sedemikian berat, muncul satu kalimat lahir dari lubuk hatinya yang paling bening, “Saya harus bisa membaca Alquran sebelum mati.” Begitu gema tekad itu merasuk ke seluruh nadinya.
Tiga bulan sisa hidup, berubah menjadi kesempatan mahal yang tidak ingin disia-siakan barang sehari pun. Bahkan, beliau selalu membawa tape recorder kecil untuk merekam dan menyimak pelajaran yang selesai hari itu untuk terus diulang dan diulang hingga bisa di rumah.
Tetapi hari ini pada bulan kelima setelah diperiksa dengan seksama kanker itu raib, hilang tanpa meninggalkan bekas sedikitpun. ”Ibu ke mana berobatnya ..? Tanya sang dokter penuh penasaran. Dengan berseloroh beliau menjawab “Saya berobat pada Yang Memberi Sehat...”
Dokter terus menyelidik pada siapa berobat dan obat apa yang dikonsumsi. Tetapi, jawaban yang terucap hanya satu “Allah Yang Menyehatkan.”
Derai air mata tak henti mengalir dari dua kelopak matanya yang keriput, membasahi wajah bersih yang kian mempesona, ayat-ayat Alquran mengalun lembut dari kedua bibirnya, semakin lancer tanpa tersendat. Membaca Alquran baginya bukan lagi sekedar membaca untaian ayat tetapi layaknya meminum obat yang sangat manjur. Ia benar-benar merasakan hidupnya hanyalah milik Allah, setiap hari hanya satu acaranya, yaitu mengaji, umurnya habis, waktunya habis dan tenaganya habis hanya untuk Alquran, sungguh membuat iri kami para guru ngaji.
Betapa tidak, para guru ngaji yang kebanyakan masih muda bahkan sebagian masih belia, jika tua kelak, apakah seteguh sang ibu yang menghabiskan hidupnya bersama Alquran.
Para guru Alquran, harus melintasi berbagai halangan dan rintangan bahkan hambatan, tidak sedikit yang memperberat langkah dan mengaburkan beningnya mata hati, hingga tidak bisa membedakan antara menghidupkan Alquran atau mencari penghidupan dengan Alquran, semua bercampur menjadi satu hingga tak mampu memilahnya.
Mana tanda khusunul khotimahnya....?, bila hari-hari memegangi mushaf Alquran, tetapi pikiran dan hasratnya tak pernah lepas dari harapan dan pamrih materi, bahkan sudah letih berkeliling ke sana kemari, dari satu rumah ke rumah yang lain, dari satu masjid ke masjid lain, siang dan malam, di kala hujan maupun terik, merasa tidak berharga bila tidak mendapat imbalan dan upah yang jumlahnya pasti sangat terbatas.
Saya akhiri pertemuan bersama beliau dengan suatu permohonan “Ibu doakan saya istiqomah hingga akhir hayat. Karena saya tidak tahu apakah jika kelak setua ibu, masih bersedia duduk penuh ta’dhim untuk belajar pada guru yang mungkin saja masih belia, seperti ibu dengan saya. Sungguh saya khawatir bila saya seusia ibu tetapi tidak memiliki sifat sebagaimana ibu sekarang....” Hasbunallah wa ni’mal wakiil. (Ustadz H. Mim Saiful Hadi), M.Pd