
Nikmatnya Berjamaah
Seperti halnya mendaki gunung, jika dilihat sekilas jarak dan tinggi gunung hanya ”selemparan batu” membuat banyak orang tergoda untuk mendatanginya. Akhirnya timbul sesumbar untuk mendaki dan menaklukkan gunung ini dan itu tanpa persiapan yang matang dan berlomba mencapai puncaknya sendirian. Begitu dilakoni, ternyata medan curam dan perjalanan berat membutuhkan perhatian dan persiapan yang tangguh dan tidak bisa dilakukan sendirian. Berita banyaknya pendaki yang meninggal saat melakukan pendakian menyedot perhatian dari pendaki yang lain. Muncullah berbagai kiat mendaki. Salah satunya adalah mendaki dengan tim. Begitu juga halnya dengan dakwah, tidak bisa berjalan sendirian.
Kita sepakat bahwa dua orang lebih baik daripada seorang, tiga orang lebih baik daripada dua orang, dan empat orang lebih baik daripada tiga orang. Sebagaimana wasiat Rasulullah, seorang muslim senantiasa hidup bersama saudaranya.
Bukankah serigala hanya memakan domba yang tercecer dari kelompoknya?
Berkelompok atau berjamaah jangan selalu dibayangkan dengan shalat berjamaah sebagaimana yang diperintahkan Nabi atau kegiatan keagamaan lain. Secara bahasa, jamaah diartikan dengan sekelompok orang yang berkumpul untuk mencapai tujuan yang sama. Misalnya, berjamaah untuk membentuk pribadi-pribadi muslim. Berjamaah untuk membentuk masyarakat muslim. Berjamaah untuk memerintahkan yang makruf dan mencegah dari yang munkar.
Dengan kata lain, setiap bekerja untuk kebaikan sebisa-bisanya dilakukan secara berjamaah atau kerja tim.
Ketika pada masa awal ditunjuk sebagai rasul, Nabi SAW mencari jamaah untuk membantunya dalam melaksanakan kewajiban dakwah. Dalam sabdanya, Rasulullah berpesan, ”Hendaknya kalian berjamaah dan hindarilah perpecahan” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Hal ini dibuktikan dengan sebagian besar aktivitas hidup Rasulullah SAW yang selalu dalam kebersamaan. Mulai shalat wajib hingga soal makan. Dari kebersamaan muncullah keberkahan. Keberkahan itu terasa tidak hanya dalam hal mendapatkan kenikmatan. Ketika terimpit musibah pun, bila diselesaikan secara berjamaah, masalahakan terasa ringan dan dapat segera teratasi.
Banyak anak kecil yang paham bahwa kebersamaan itu membuat masalah jadi mudah. Dari situ muncullah ide belajar bersama. PR yang mungkin terasa sulit jika dikerjakan sendiri akan menjadi mudah bila dikerjakan dalam kelompok belajar. Bahkan, urusan beli bola terasa berat apabila ditanggung satu orang, menjadi mudah jika dilakukan secara patungan.
Kesalehan, kecerdasan, dan kekuatan secara pribadi saja belum cukup dalam mengarungi tugas-tugas dakwah. Boleh jadi ada masalah manusia yang lebih sulit melebihi kegiatan dakwah. Dari situ muncullah masalah turunan: masalah dana, masalah mental, masalah strategi, bahkan pertahanan.
Lalu kebersamaan atau berjamaah seperti apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW?
Ahmad Sarwat, Lc, MA dalam www.rumahfiqih.com memberi gambaran jumlah jamaah muslimin di era Rasulullah SAW hanya ada satu. Jika seseorang baru masuk Islam, secara otomatis ia sudah resmi menjadi bagian atau anggota jamaah muslimin. Kalau ada orang Islam yang murtad atau keluar dari agama Islam, barulah itu dianggap keluar dari jamaah muslimin.
Hal tersebut sangat berbeda dengan kondisi jamaah yang ada sekarang. Jamaah bukan cuma dua, tiga, atau empat, tetapi jumlahnya mencapai ribuan bahkan jutaan. Masing-masing mengakui sebagai jamaah yang paling benar, paling sesuai dengan Nabi, paling lurus, dan paling-paling yang lain.
Bukan rahasia lagi bila satu jamaah dengan jamaah yang lain bisa saling menjelekkan dan saling membongkar kejelekan sesama. Biasanya anggota satu jamaah tidak diperbolehkan dekat-dekat dengan kelompok lain.
Perbedaan yang lain, di masa Rasulullah SAW, untuk menjadi bagian dari jamaah umat Islam seseorang tidak perlu harus mendaftarkan diri dan melakukan baiat yang dianggap sebagai pintu gerbang berjamaah. Pintu gerbang menuju jamaah muslim adalah mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Lantas, apakah tidak diperbolehkan mengikuti jamaah atau kelompok-kelompok yang ada sekarang? Tentu saja diperbolehkan, bahkan harus untuk menggapai kemaslahatan bersama. Dengan catatan, ketika aktif berjamaah atau berkelompok, tidak saling menjelekkan, tidak saling mencaci, tidak saling menghina, dan tidak saling menuduh kafir antara sesame kelompok di tengah umat.
Keberadaan banyaknya kelompok akan semakin terasa manfaatnya untuk umat dengan saling bersinergi, saling menghargai, saling menyanjung, saling mengagumi, dan saling memberi. Sebab, tidak mungkin masalah umat Islam hanya dikerjakan satu kelompok saja. Kita akan butuh banyak tenaga yang mungkin dalam kelompok satu tidak dimiliki dan ada di kelompok lain. Maka tidak salah bila kelompok-kelompok yang ada bisa bekerja sama di semua bidang.
Tidak benar bila ada seorang muslim yang tidak ikut kelompok tertentu dianggap bukan muslim. Juga keliru pemahaman yang mengatakan bahwa siapa yang keluar dari suatu kelompok, dia telah keluar dari jamaah. Sebab, semua muslim di dunia adalah bagian dari jamaah Islam. Jamaah muslimin tetap ada meski wujudnya kurang ideal. Hal ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya:
- Keawaman Umat Islam terhadap Agamanya (Al-Jahlu Anil Islam)
Di dalam tubuh jamaah muslimin saat ini, masih banyak orang Islam yang kurang mendapatkan akses untuk mengenal dan mendalami syariat Islam. Secara status sudah muslim dan bagian dari jamaah muslimin, tetapi secara kualitas, masih banyak yang harus diperbaiki.
Masih banyak umat Islam yang belum bisa shalat, tidak mengerti tata cara wudu, mandi janabah, hukum najis, dan detail-detail syariah yang lain. Jangankan mengerti tafsir Alquran, membacanya saja pun masih terbata-bata dan tidak bisa-bisa. Kemajuan ilmu-ilmu syariah di masa lalu dan warisan jutaan jilid kitab tinggal kenangan manis saja. Para ulama sudah wafat lebih dulu dipanggil Allah, yang tersisa hanya tokoh-tokoh agama tanpa ilmu. Penampilan luar memang agak mirip dengan ulama, tetapi ilmunya kosong. Majelis ilmu kemudian bermetamorfosis menjadi panggung lawak dan hiburan walaupun masih ada bau-bau pengajian.
Bahasa Arab tidak dipakai lagi, bahkan para ustad, kiai, penceramah, dan tokoh-tokoh agama pun tidak bisa berbahasa Arab. Maka mustahil mereka punya akses terhadap ilmu-ilmu syariah yang menjadi warisan tak ternilai harganya karena mereka buta huruf dan tidak paham bahasanya.
Sekolah Islam dan kampus milik umat Islam sudah tidak lagi mengajarkan detail syariah, kurikulumnya sudah lama berganti dengan kurikulum yang rendah mutunya. Wajar kalau alumni dan lulusannya masih terbilang sangat awam. Lalu bagaimana dengan sekolah dan kampus umum? Tentu jauh lebih awam lagi.
Penghafal Alquran masih cukup banyak, bahkan qari’ dan qari’ah yang suaranya merdu dan napasnya panjang masih terus bermunculan lewat beragam MTQ. Sayangnya, jarang sekali kita temukan tempat dilahirkannya para mufassir yang mengerti hukum-hukum yang terkandung didalamnya. Alquran sebagai hafalan atau seni bacaan semakin digandrungi, namun sebagai ilmu yang menjelaskan hukum dan aturan Allah, sudah lama ditinggalkan.
2. Perpecahan, Keretakan, dan Terurainya Tali Persaudaraan (Al-Furqah wa At-Tafakkuk wa Inhilalurrawabith)
Salah satu hambatan utama dalam tubuh jamaah muslimin sekarang ini adalah perpecahan internal dalam tubuh umat Islam. Tiap orang yang punya massa bikin kelompok sendiri-sendiri, masing-masing membanggakan kelompoknya dan menjelekkan kelompok lain. Berkelompok itu tidak dilarang, tetapi saling menjelekkan itu haram, apalagi saling menyakiti dan merasa paling besar sendiri, jauh lebih haram lagi.
Berbagai kelompok umat Islam itu kadang dimotori oleh elite yang rajin memprovokasi anggotanya agar selalu membanggakan diri. Slogannya: mari kita besarkan kelompok kita.
Perjuangan dan jihad yang dilakukan bukan lagi semata demi keseluruhan umat Islam, tetapi diba- tasi hanya untuk kelompoknya saja. Memperjuangkan kelompok sudah dianggap memperjuangkan Islam. Konyolnya, menggebuki kelompok lain juga dianggap jihad dan perjuangan.
Masing-masing kelompok mendirikan amil zakat dan Lembaga infaq sendiri-sendiri. Tujuannya, kalau ada yang berzakat, infak, atau sedekah, bantuannya tidak disalurkan kepada semua umat Islam, tetapi khusus hanya untuk fakir miskin yang berafiliasi kepada kelompoknya.
Bahkan, tiap kelompok mendirikan lembaga fatwa sendiri-sendiri. Lembaga ini tidak didirikan demi kepentingan seluruh umat Islam, tetapi khusus hanya untuk kepentingan kelompok.
Prinsip yang berkembang adalah jam’iyah qabla Islam. Untuk kepentingan kelompok kita dulu, baru nanti kalau ada sisanya buat di luar kelompok.
3. Elite Berebutan Kekuasaan Duniawi (Mushara’atul Hukkam ‘alad-Dunia)
Umat Islam semakin lemah lagi ketika para penguasa dan elitenya tidak pernah berhenti dari memperebutkan jabatan dan kursi kekuasaan. Alasannya kadang lucu dan aneh, logikanya pun susah dipahami.
Kalau bukan saya yang jadi penguasa, maka penguasa lain pasti kafir atau sekuler. Maka apa pun yang terjadi, saya harus jadi penguasa. Karena cuma saya satu-satunya orang di dunia ini yang bisa menjamin tegaknya Islam. Tanpa saya, Islam akan hancur. Bila saya tidak berkuasa, Islam pasti lenyap.
Sekilas kalimat di atas sangat menyentuh. Dalam pengaakuannya, si calon penguasa ingin menegakkan Islam dan hukum-hukumnya. Tetapi, Ketika ada syarat bahwa yang berkuasa itu harus dirinya dan tidak boleh orang lain, kalimat tersebut jadi amat memalukan.
Bayangkan kalau semua tokoh dan elite umat Islam punya pemikiran seperti ini, maka perebutan kekuasaan sesama umat Islam tidak akan pernah berhenti sampai kiamat. Selain itu saling tuduh kafir dan sekuler pun tidak akan pernah ada habisnya.
Padahal, semuanya beragama Islam, semuanya mengaku umat Rasulullah SAW. Qurannya sama, haditsnya sama, syahadatnya sama, tetapi demi segenggam kekuasaan, rela dan ridha untuk melukai sesama saudara sendiri. Bahkan, kalau perlu, semua orang harus berkorban nyawa demi kekuasaannya.