Kembali
image
Parenting

Menghadapi Anak Tantrum

6 tahun yang lalu ● Dibaca 743x

Siang itu Aldo menangis, menjerit-jerit, dan berguling-guling di lantai karena menuntut ibunya untuk membelikan mainan mobil-mobilan di sebuah supermarket. Ibunya sudah berusaha membujuk Aldo dan mengatakan bahwa sudah banyak mobil-mobilan di rumahnya. Namun, Aldo malah semakin menjadi-jadi.

Sang ibu menjadi serbasalah, malu, dan tidak berdaya menghadapi anaknya. Di satu sisi, ibunya tidak ingin membelikan mainan tersebut karena masih ada kebutuhan lain yang lebih mendesak. Namun, di sisi lain, kalau tidak dibelikan, dia khawatir Aldo akan menjeritjerit semakin lama dan keras sehingga menarik perhatian semua orang dan orang bisa saja menyangka dirinya adalah orang tua yang kejam.

Ibunya pun menjadi bingung. Dia akhirnya terpaksa membeli mainan yang diinginkan Aldo. Benarkah tindakan sang ibu?

Kejadian di atas disebut sebagai tantrum atau suatu luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Hal ini seringkali muncul pada anak usia lima belas bulan sampai enam tahun.

Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Ini lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap ”sulit”. Ciri-cirinya: anak memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar tidak teratur. Ia sulit menyukai situasi, makanan, dan orang-orang baru. Ia lambat beradaptasi terhadap perubahan. Mood-nya (suasana hati) lebih sering negatif. Ia mudah terprovokasi dan gampang merasa marah/ kesal. Selain itu, dia sulit dialihkan perhatiannya.

Tantrum seringkali muncul dalam berbagai perilaku. Ada beberapa contoh. Menurut tingkatan usia: Di bawah usia 3 tahun; si anak menangis, menggigit, memukul, menendang, menjerit, memekik-mekik, melengkungkan punggung, melempar badan ke lantai, memukulmukulkan tangan, menahan napas, membenturbenturkan kepala, melempar-lempar barang. Di usia 3-4 tahun; seperti yang terjadi di usia 3 tahun dan, mengentak-entakkan kaki, berteriakteriak, meninju, membanting pintu, mengkritik, merengek. Sementara di usia 5 tahun ke atas; perilaku- perilaku seperti pada dua kategori usia di atas, memaki, menyumpah, memukul kakak/ adik atau temannya, mengkritik diri sendiri, memecahkan barang dengan sengaja, dan mengancam.

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya tantrum. Pertama, terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu. Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara tantrum untuk menekan orang tua agar mendapatkan yang ia inginkan, seperti pada contoh kasus di awal. Kedua, ketidakmampuan anak mengungkapkan diri. Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa dan orang tua pun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk tantrum. Ketiga, tidak terpenuhinya kebutuhan. Anak yang aktif membutuh ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah tantrum. Contoh lainnya, anak butuh kesempatan untuk mencoba kemampuan baru yang dimilikinya. Misalnya, anak umur 3 tahun yang ingin mencoba makan sendiri atau umur anak 4 tahun ingin mengambilkan minum yang memakai wadah gelas kaca, tapi tidak diperbolehkan oleh orang tua atau pengasuh. Maka, untuk melampiaskan rasa marah atau kesal karena tidak diperbolehkan, ia memakai cara tantrum agar diperbolehkan.

Keempat, pola asuh orang tua. Cara orang tua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orang tuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orang tua dengan perilaku tantrum. Orang tua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak tantrum. Misalnya, orang tua yang tidak punya pola jelas kapan ingin melarang kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu dan orang tua yang seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum. Anak akan dibingungkan oleh orang tua dan menjadi tantrum ketika orangtua benar-benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa jadi akan tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orangtua. Kelima, anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit. Keenam, anak sedang stres (akibat tugas sekolah dan lain-lain) dan karena merasa tidak aman (insecure). 

Dalam buku Tantrums Secret to Calming the Storm (La Forge: 1996) banyak ahli perkembangan anak menilai bahwa tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif, dan emosi anak. Sebagai bagian dari proses perkembangan, episode tantrum pasti berakhir. Beberapa hal positif yang bisa dilihat  bahwa dengan tantrum, anak ingin menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan rasa marah, dan frustrasi serta membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah, atau sakit.

Meski demikian, bukan berarti bahwa tantrum sebaiknya harus dipuji dan disemangati. Jika orang tua membiarkan tantrum berkuasa (dengan memperbolehkan anak mendapatkan yang diinginkannya setelah ia tantrum, seperti ilustrasi di atas) atau bereaksi dengan hukumanhukuman yang keras dan paksaan-paksaan, berarti orang tua sudah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif (padahal sebenarnya tentu orang tua tidak setuju dan tidak menginginkan hal tersebut).

Dengan bertindak keliru dalam menyikapi tantrum, orang tua juga menjadi kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut. (Drs. H. Subiyanto)

Menghadapi Anak Tantrum