
Mengembangkan Pendidikan Berbasis Pesantren
Pesantren dipercaya merupakan salah satu pendidikan tertua di nusantara. Keberadaannya telah ada sejak masa masuknya Islam di Indonesia, terutama masa Wali Sanga di Jawa. Banyak kelebihan dari sistem pendidikan berbasis pesantren ini. Di antaranya adalah kader di tengah-tengah masyarakat yang manfaatnya dirasakan langsung.
Menurut pakar pendidikan Ivan Illichdalam buku Deschooling Soceaty, pendidikan universal melalui sistem sekolah tidaklah dapat dilaksanakan. Akan lebih mudah jika hal ini diusahakan dengan cara mendirikan lembaga alternative yang diadakan menurut pola sekolah yang ada sekarang. Sikap baru para guru terhadap murid maupun penambahan peralatan dan gagasan pendidikan (di sekolah maupun di rumah) tidak akan menciptakan pendidikan universal. Meskipun tanggung jawab ditambah sedemikian rupa sampai kehidupan murid terkuasai seluruhnya, tidak akan dihasilkan pendidikan universal. Usaha ke arah saluran pendidikan baru harus diubah menjadi penelitian pengembangan ke dalam: jenjang pendidikan harus merupakan peningkatan kesempatan masing-masing orang untuk menjadikan setiap momen kehidupannya menjadi kesempatan belajar, pengamalan ilmu, dan perhatian kepada sesama.
Dewasa ini kita melihat bahwa sebenarnya sistem pendidikan pesantren dapat menjadi solusi atas berbagai persoalan sosial. Anak-anak yang belajar di sekolah formal tidak memperoleh bekal pengetahuan dan wawasan keagamaan yang optimal. Alhasil, sekolah kerap dicap gagal dalam membina dan mencetak karakter insan bermoral. Muaranya, pendidikan di level formal seringkali dituding tidak berhasil menuntun siswa untuk mempunyai karakter yang baik dan berbudi luhur. Di sinilah kemudian pemerintah memasukkan pendidikan karakter ke dalam kurikulum untuk menjawab persoalan di lapangan tersebut. Berhasilkah?
Faktanya, masih saja terjadi kasus-kasus kriminal dan kejahatan lainnya yang melibatkan kalangan pelajar. Misalnya, tawuran antarsiswa, narkoba, seks bebas, pelecehan seksual, hingga kasus pidana. Hal ini patut membuat kita semua mengelus dada.
Di sinilah kemudian pola pembinaan dan pengembangan pembelajaran berbasis pesantren dipandang amat vital dan penting. Mengapa demikian? Kita tentu sepakat bahwa anak-anak yang ditelurkan oleh sekolah sekarang ibarat selembar kain yang tanggung. Mau dijadikan sapu tangan, tapi kebesaran. Mau dijadikan taplak meja, tapi kekecilan. Sebab, tidak ada pelajaran yang dikuasai akibat terlalu banyaknya mata pelajaran yang diberikan.
Memang bukan berarti pelajaran di pesantren tidak lebih sedikit. Justru pesantren-pesantren modern sekarang yang ada cukup ketat dalam hal kurikulum pembelajarannya. Artinya, pelajaran akademik dan nonakademik serta pendidikan agama diatur secara proporsional dengan menitikberatkan pada aspek spiritual.
Mengutip pendiri Pesantren Hidayatullah Ustad Abdullah Said, yang penting anak-anak diberi pelajaran dasar, yakni membaca, menulis, dan berhitung. Menurut dia, anak-anak seharusnya digiring untuk banyak membaca. Karena itu dia kurang setuju dengan sistem klasikal. Kalau toh di pesantren ada ruangan kelas, itu sekadar untuk memberi arahan yang tidak terlalu muluk untuk kemudian dipraktikkan di lapangan. Dengan demikian, tidak hanya kaya teori tapi miskin pengamalan (praktik). Hal inilah yang mirip dengan pendapat Ivan Illich di atas.
Selain membekali pengetahuan dan pembelajaran agama, pola pendidikan pesantren pada umumnya mengedepankan skema praktik yang ideal. Sebagai contoh, untuk mendidik santri agar menjadi ahli di bidang penanaman kacang atau gambar (oyong), mereka tidak perlu terlalu lama belajar di kelas tentang cara menanam kacang dan gambas. Cukup berikan bibit dan tunjukkan lahan, lalu minta mereka menanamnya. Kalau pertumbuhan tanamannya merana, perlu dikaji mungkin tanahnya kurang subur sehingga perlu dipupuk atau pH-nya tinggi sehingga perlu dikapur atau tanamannya perlu diubah. Dengan demikian, akan ditemukan kendalanya sehingga tak perlu mempelajari kacang dan gambas bertahun-tahun yang pada akhirnya mereka tidak bisa menjadi ahli dalam dunia perkacangan dan pergambasan. Hal yang sama berlaku untuk bidang-bidang keilmuan lainnya.
Secara garis besar, bisa disimpulkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berperan besar dalam menyebarkan dakwah Islam. Namun, dewasa ini pola pembelajaran dan kurikulum pesantren banyak diadopsi oleh sekolah formal seperti sekolah alam dan sekolah hafiz berasrama.
Memang tidak bisa dimungkiri bahwa ada beberapa pesantren yang tetap berjalan meneruskan tradisi yang diwarisi turun-temurun tanpa perubahan dan improvisasi. Namun, ada pula pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu relative singkat. Pesantren semacam ini adalah lembaga yang menyusun kurikulum berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.
Indonesia membutuhkan generasi yang unggul dan berkualitas sebagai calon-calong pemimpin di masa mendatang. Oleh sebab itu, dibutuhkan pembekalan pendidikan yang mampu menumbuhkan karakter baik, moral tinggi, dan budi luhur. Pola pembinaan dan pembelajaran berbasis pesantren bisa menjawab dan menjadi solusi atas hal tersebut.
Sebab, pesantren diyakini mampu menjalankan peranan institusi dan instrumental dalam pengalaman ajara agama Islam. Selain itu, pesantren memiliki peran strategis dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas melalui dakwah bi al-lisan (lisan) dan dakwah fi al-hal (aksi) serta menjadi pusat pelayanan beragama dan moral selain pusat pengembangan ukhuwah Islamiyah. (Redaksi LAZIS Nurul Falah)