
Macam-Macam dan Hukum Seputar Wakaf
Wakaf (al-waqf) adalah menahan materi/benda orang yang berwakaf dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebajikan. Dasar hukum wakaf antara lain adalah firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 267 dan Ali Imran ayat 92, serta hadis sahih riwayat al-Jamaah bahwa atas anjuran Rasulullah SAW, Umar ra menyedekahkan tanahnya di Khaibar dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Manfaat hasil tanah itu diperuntukkan fakir miskin, memerdekakan budak, tamu, dan orang telantar. Pengelola boleh mengambil sewajarnya secara makruf (menurut Ibnu Hajar, inilah riwayat paling sahih mengenai wakaf).
Ada beberapa macam wakaf, yakni:
Wakaf khairiy (kebaikan): wakaf yang sejak semula diperuntukkan bagi kemaslahatan umum.
Wakaf dzurriy (keturunan): wakaf yang sejak semula ditentukan kepada pribadi atau sejumlah orang meski tujuan utamanya juga untuk kepentingan umum.
Wakaf pasif (tak bergerak): wakaf berupa tanah untuk lahan bangunan atau pertanian.
Wakaf aktif (bergerak): wakaf berupa binatang atau komoditas untuk ”diputar” secara produktif bagi kemaslahatan umum. Juga yang sekarang sedang tren dengan istilah wakaf tunai, yakni wakaf berupa uang (dalam istilah yang sudah ada dapat semakna dengan amal jariyah).
Jumhur fuqahaa’ (mayoritas ulama ahli fiqih) sepakat bahwa dalam wakaf harus ada orang yang berwakaf, harta yang diwakafkan, penerima wakaf, dan akad wakaf. Dengan demikian, yang menentukan status harta itu wakaf atau bukan adalah akadnya. Walaupun seseorang itu memberikan hartanya dengan motif agar dipilih, baik sebagai pemimpin eksekutif ataupun legislatif, tetapi kalau akad serah terimanya adalah wakaf, maka harta tersebut berstatus hukum sebagai harta wakaf.
Ke mana harta wakaf itu harus diserahkan? Tentu kepada pihak yang amat diyakini dapat memegang amanah mengelolanya, baik perorangan ataupun lembaga, tetapi kepada lembaga lebih afdal (utama) daripada kepada prorangan karena potensi penyimpangan lebih kecil dan kemungkinan pemanfaatannya akan lebih besar. Penerima wakaf inilah yang dalam istilah fiqih disebut nadhir (pengelola).
Mengenai hukum mengganti atau menjual harta wakaf dapat dijelaskan sebagai berikut:
Menurut mazhab Hanafiy: jika berupa masjid dan sudah rusak juga tidak memungkinkan diperbaiki lagi, maka harus dibiarkan apa adanya sampai hari kiamat, tidak boleh dijual dan tidak boleh dipindahkan. Tapi, jika berupa bangunan selain masjid, maka pemerintah boleh menggantinya dengan yang lebih bermanfaat.
Sementara menurut mazhab Malikiy dan Syafi’iy: jika berupa masjid maka tidak boleh dijual; jika berupa bangunan bukan masjid maka kalau rusak tidak boleh diganti tapi boleh dijual asal dibelikan lagi sesuai kebutuhan; jika berupa benda bergerak atau hewan yang manfaatnya sudah tidak ada lagi maka boleh dijual dan dibelikan lagi yang sejenis.
Adapun mazhab Hanbaliy menyatakan: apabila harta wakaf sudah tinggal sedikit manfaatnya, maka dalam keadaan darurat boleh dijual. Apabila manfaat harta wakaf (berupa apapun, termasuk masjid) telah hilang, maka boleh dijual. Hasil penjualannya boleh dibelikan apa saja asal bermanfaat bagi kepentingan umum. Apabila harta wakaf itu berupa hewan yang terpaksa dijual karena sudah sedikit manfaatnya, maka jika hasil penjualan tersebut tidak dapat dibelikan hewan sejenis, boleh dibelikan yang tidak sejenis asal bermanfaat untuk umum. Tidak boleh memindahkan masjid dan menukarnya dengan yang lain kecuali sudah tidak bermanfaat lagi.
Nah, bagaimana hukum meminta kembali harta yang sudah diwakafkan?
Jumhur fuqahaa’ (dalam hal ini fuqahaa’ Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) berpendapat bahwa harta yang sudah diwakafkan itu beralih kepemilikannya menjadi milik Allah SWT yang harus dipergunakan bagi kemaslahatan umum. Dengan demikian, orang yang berwakaf (waaqif) tidak lagi memiliki hak apa pun terhadap harta yang sudah diwakafkan sehingga dia tidak berhak meminta kembali harta yang sudah diwakafkan tersebut. Hal ini didasarkan pada hadis sahih riwayat al-Jamaah di atas.
Menurut mazhab Hanafiy, orang yang berwakaf boleh meminta kembali harta yang sudah diwakafkan untuk menjadi milik pribadinya. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthniy bahwa Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): ”Tidak boleh menahan harta yang merupakan ketentuan Allah”. Menurut Imam Abu Hanifah, apabila wakaf itu melepaskan hak milik, maka akan bertentangan dengan hadis ini, karena dalam harta itu terdapat hak ahli waris waaqif yang termasuk ketentuan Allah SWT.
Perlu dijelaskan di sini bahwa walaupun Imam Abu Hanifah itu dikenal amat selektif dalam menggunakan hadis, tetapi saat itu metodologi penelitian hadis belum begitu matang. Terkait dengan hadis ad-Daruquthniy ini, ternyata kemudian diketahui bahwa status hadis tersebut adalah dla’iif (lemah) sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi diperbolehkannya meminta kembali harta yang sudah diwakafkan. Dengan demikian, waaqif tidak boleh meminta kembali harta yang sudah diwakafkan, dan penerima wakaf juga tidak diperbolehkan menyerahkannya kembali kepada waaqif karena dia sudah tidak memiliki hak apa pun terhadap harta tersebut.
Wallaahu a’lam.
(Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, M.A.)