
Kisah Sahabat Nabi Abu Musa Al-Asy’ari
Bagi pecinta sejarah Islam, nama Abu Musa Al-Asy’ari adalah salah satu yang tak boleh dilupakan. Sahabat Nabi SAW ini terkenal karena suara merdunya yang membuat hati bergetar, sekaligus perannya dalam dakwah, kepemimpinan, dan perundingan penting di masa awal Islam. Dari Yaman hingga memimpin Basrah dan Kufah, kisahnya sarat hikmah yang relevan untuk semua zaman.
Biografi Abu Musa Al-Asy’ari Singkat: Dari Yaman Menuju Rasulullah
Nama asli beliau adalah Abdullah bin Qais, berasal dari suku Asy’ar di Yaman. Abu Musa masuk Islam sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, lalu berhijrah dan belajar langsung dari Rasulullah. Semangatnya membawa Islam membuatnya kembali ke Yaman untuk mengajak kaumnya masuk Islam.
Rasulullah SAW pernah berkata: “Wahai Abu Musa, sungguh engkau telah diberi suara indah seperti keluarga Daud” (HR. At-Tirmidzi). Keindahan bacaan Al-Qur’an-nya membuat banyak orang menitikkan air mata. Para sahabat bahkan senang shalat di belakangnya hanya untuk mendengar suaranya.
Selain suara, Abu Musa memiliki sifat sabar, tawadhu, dan bijaksana. Karakter ini menjadikannya sosok yang dihormati di berbagai wilayah yang ia pimpin.
Perjalanan Dakwah Abu Musa Al-Asy’ari
Kisah sahabat Nabi Abu Musa Al-Asy’ari tak lepas dari peran pentingnya sebagai penyebar Islam di luar Mekkah dan Madinah. Bersama rombongan dari Yaman, ia menemui Rasulullah SAW, belajar, lalu kembali menyebarkan ajaran Islam dengan lembut dan bijak.
Ia adalah perawi banyak hadis, di antaranya: “Setiap yang memabukkan adalah haram” (HR. Al-Bukhari). Hadis ini ia sampaikan untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dan melindungi umat dari keburukan.
Di masa Khalifah Umar bin Khattab, Abu Musa diangkat menjadi gubernur Basrah dan kemudian Kufah. Ia tidak hanya mengajarkan Al-Qur’an, tapi juga membangun infrastruktur penting seperti saluran irigasi dan pasar. Semua kebijakan dilakukan demi kesejahteraan rakyat.
Peran Abu Musa dalam Konflik dan Akhir Hayatnya
Salah satu momen besar dalam kisah Abu Musa adalah keterlibatannya dalam peristiwa Perang Siffin. Saat itu, ia memilih posisi netral demi menghindari perpecahan yang lebih besar. Khalifah Ali bin Abi Thalib mempercayainya sebagai wakil dalam perundingan damai. Meski keputusan akhir tidak memuaskan semua pihak, Abu Musa tetap dikenal sebagai penengah yang tulus.
Abu Musa wafat pada tahun 42 atau 44 Hijriah (sekitar 662 M), di Madinah atau Kufah. Hingga kini, namanya tercatat dalam sejarah sebagai sahabat Nabi yang ahli membaca Al-Qur’an, pemimpin yang adil, dan perawi hadis terpercaya.
Kehidupannya memberi pesan bahwa keindahan suara adalah anugerah, tetapi pemanfaatannya untuk kebaikan adalah pilihan. Abu Musa memilih jalan dakwah, pengajaran, dan perdamaian sebagai bentuk rasa syukurnya.
Biografi Abu Musa Al-Asy’ari mengajarkan bahwa setiap potensi yang kita miliki entah itu suara, ilmu, atau kepemimpinan bisa menjadi jalan dakwah. Dari Yaman hingga Kufah, dari menjadi murid Rasulullah SAW hingga gubernur, ia menunjukkan keteguhan iman yang dibalut kelembutan hati.
Bagi yang mencari kisah sahabat Nabi lengkap atau biografi singkat Abu Musa Al-Asy’ari, kisah ini membuktikan bahwa keteladanan tidak hanya lahir dari perang di medan jihad, tetapi juga dari ketekunan dalam mengajar, membangun, dan menjaga persatuan umat.