
Kebangsaan dan Ukhuwah: Merajut Iman dan Cinta Tanah Air
Apakah iman di dalam dada dan kecintaan pada tanah air adalah dua hal yang terpisah? Sejarah dan ajaran luhur Islam justru menunjukkan bahwa keduanya adalah serat yang merajut satu kain yang sama, saling menguatkan dan tak terpisahkan dalam identitas seorang muslim Indonesia.
Akar Keimanan dalam Cinta Tanah Air
Ungkapan Hubbul Wathan minal Iman atau "cinta tanah air adalah sebagian dari iman" telah lama mengakar dalam sanubari umat Islam di Nusantara. Meskipun ungkapan ini bukanlah hadis Nabi Muhammad SAW secara harfiah, esensi dan maknanya sangat selaras dengan spirit ajaran Islam. Cinta pada tempat kelahiran dan tanah di mana seseorang tumbuh adalah fitrah manusiawi yang diakui dan dihormati oleh Islam. Hal ini tercermin dari perasaan cinta Rasulullah SAW terhadap kampung halaman beliau, Mekkah, dan kota tempat beliau membangun peradaban Islam, Madinah.
Kecintaan Rasulullah SAW pada tanah airnya terekam jelas dalam sejarah. Saat terpaksa harus berhijrah meninggalkan Mekkah, beliau menatap kota kelahirannya itu dengan penuh haru seraya berkata, "Demi Allah, sesungguhnya engkau (Mekkah) adalah sebaik-baik bumi Allah dan bumi Allah yang paling aku cintai. Seandainya pendudukmu tidak mengusirku, niscaya aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Perasaan ini menunjukkan bahwa cinta pada tanah air adalah emosi yang mulia dan menjadi bagian tak terpisahkan dari diri seorang manusia beriman.
Setibanya di Madinah, beliau tidak melupakan kecintaannya. Rasulullah SAW justru memanjatkan doa agar Allah SWT menumbuhkan rasa cinta yang sama, atau bahkan lebih besar, kepada Madinah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA, Nabi SAW berdoa:
اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ
"Ya Allah, jadikanlah Madinah kota yang kami cintai, sebagaimana Engkau jadikan Mekkah kota yang kami cintai, atau bahkan lebih." (HR. Bukhari).
Doa ini menjadi bukti bahwa merawat dan mencintai negeri tempat kita tinggal adalah sebuah anjuran yang lahir dari keimanan mendalam kepada Allah SWT.
Pancasila: Cerminan Nilai Luhur Maqashid Syariah
Iman dan cinta tanah air bagi muslim Indonesia menemukan titik temu yang harmonis dalam Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam dasar negara ini secara substansial selaras dengan tujuan-tujuan utama syariat Islam (Maqashid Syariah). Keselarasan ini membuktikan bahwa menjadi seorang muslim yang taat tidak berseberangan dengan menjadi seorang Pancasilais sejati.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah cerminan paling murni dari konsep Tauhid, yaitu mengesakan Allah SWT sebagai pusat dari segala kehidupan. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sejalan dengan prinsip Islam untuk memuliakan manusia (hifdzun nafs) dan menjaga martabat setiap individu tanpa memandang latar belakangnya. Ajaran Islam sangat menekankan pentingnya berlaku adil dan beradab kepada seluruh umat manusia.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, merupakan wujud nyata dari konsep ukhuwah (persaudaraan) yang diperintahkan dalam Al-Qur'an. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, sangat identik dengan prinsip syura (musyawarah) yang dijunjung tinggi dalam Islam untuk mencapai mufakat. Terakhir, sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, adalah salah satu tujuan puncak syariat Islam, yaitu mewujudkan keadilan ('adl) dan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat.
Memperluas Makna Ukhuwah untuk Indonesia
Iman dan cinta tanah air menuntut kita untuk memperluas cakrawala persaudaraan melampaui batas-batas kelompok. Islam mengajarkan Ukhuwah Islamiyah, yaitu persaudaraan sesama muslim yang diikat oleh akidah yang sama. Namun, dalam konteks kebangsaan Indonesia yang majemuk, iman kita juga harus mampu menjadi pondasi bagi terwujudnya Ukhuwah Wathaniyah, atau persaudaraan sesama anak bangsa.
Ukhuwah Wathaniyah berarti kita memandang setiap warga negara, apapun suku, ras, dan agamanya, sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Persaudaraan ini diikat oleh komitmen bersama untuk menjaga keutuhan, kedaulatan, dan kemajuan Indonesia. Semangat gotong royong, toleransi, dan saling menghormati adalah implementasi nyata dari ukhuwah ini, yang sumber kekuatannya berasal dari keyakinan bahwa menjaga negeri adalah sebuah amanah dari Tuhan.
Persatuan inilah yang menjadi kunci kekuatan bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan. Perbedaan bukanlah alasan untuk berpecah, melainkan kekayaan yang harus dirawat bersama. Dengan demikian, seorang muslim turut serta menjaga kedamaian dan menjadi agen rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil 'alamin), dimulai dari lingkup negaranya sendiri.
Jejak Sejarah: Ketika Iman Mengobarkan Semangat Kemerdekaan
Sejarah kemerdekaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari peran besar umat Islam yang digerakkan oleh kekuatan iman dan cinta tanah air. Para ulama, santri, dan tokoh-tokoh muslim berada di garda terdepan perjuangan, membuktikan bahwa spiritualitas Islam adalah sumber energi yang dahsyat untuk membela kedaulatan negara. Mereka memandang penjajahan bukan hanya sebagai penindasan politik dan ekonomi, tetapi juga sebagai ancaman terhadap martabat dan keyakinan.
Salah satu bukti sejarah paling monumental adalah "Resolusi Jihad" yang dicetuskan oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini menyatakan bahwa hukum membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah fardhu 'ain (wajib bagi setiap individu) bagi setiap muslim yang berada dalam radius tertentu dari pusat pertempuran. Resolusi Jihad ini berhasil membakar semangat para santri dan rakyat Surabaya untuk bertempur habis-habisan dalam peristiwa 10 November.
Peristiwa ini adalah penegas bahwa bagi para pendahulu kita, tidak pernah ada keraguan antara iman dan nasionalisme. Keduanya menyatu dalam satu tarikan napas perjuangan. Iman memberikan landasan spiritual dan keberanian, sementara cinta tanah air memberikan arah dan tujuan yang jelas: Indonesia merdeka dan berdaulat.