
Jangan Sampai Terbuai atas Nikmat Allah SWT
Manusia sering kali terbuai oleh kenyamanan dan kelapangan hidup yang ia rasakan, tanpa sadar bahwa semua itu adalah ujian dari Allah SWT. Takut akan kufur nikmat seharusnya menjadi alarm bagi setiap insan agar tidak tenggelam dalam kelalaian. Sering kali, nikmat justru membuat manusia lengah, lalai dari ibadah, dan lupa bersyukur. Padahal, nikmat yang diberikan Allah bukanlah tanda bahwa kita dicintai, bisa jadi itu bentuk istidraj, istilah yang menunjukkan bahwa nikmat dunia justru menjauhkan dari rahmat Allah. Maka dari itu, sangat penting untuk terus mawas diri dan tidak sampai kufur nikmat atas segala pemberian-Nya.
Sadar Diri
Kita ini hanya makhluk kecil dan lemah yang tidak memiliki apa-apa jika bukan karena kehendak Allah SWT. Tubuh kita, waktu kita, rezeki, dan semua yang kita miliki adalah titipan sementara. Maka pantaslah jika rasa takut akan kufur nikmat selalu hadir dalam hati, agar tidak menyombongkan diri atas pencapaian duniawi.
Kesadaran diri akan posisi kita sebagai hamba membuat kita senantiasa menunduk dan bersyukur. Tidak ada satu kenikmatan pun yang datang melainkan karena rahmat Allah, bukan karena kepintaran atau kekuatan kita. Bahkan kemampuan untuk bersyukur pun merupakan nikmat dari-Nya.
Bersyukur tidak cukup hanya dengan kata, tetapi harus diiringi dengan doa dan penghambaan. Kita perlu bermunajat, memohon kepada Allah agar diberikan hati yang peka dan tidak lalai. Dengan begitu, kita bisa menjaga diri agar tidak kufur nikmat.
Allah SWT telah mengingatkan dalam Al-Qur’an: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7). Ayat ini menjadi peringatan tegas agar kita tidak sombong atas nikmat yang diberikan.
Nikmat Allah SWT yang Melimpah
Lihatlah sekeliling kita—semua yang ada di bumi ini adalah nikmat dari Allah SWT. Udara yang kita hirup, air yang kita minum, matahari yang menyinari bumi, hingga teknologi yang memudahkan pekerjaan manusia—semuanya adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Takut akan kufur nikmat harus tumbuh dari kesadaran bahwa kita tidak bisa hidup tanpa rahmat-Nya.
Salah satu nikmat terbesar yang sering diabaikan adalah kesehatan dan waktu luang. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, "Dua nikmat yang banyak manusia tertipu karenanya: kesehatan dan waktu luang." (HR. Bukhari). Ketika sehat dan memiliki waktu, sering kali manusia menggunakannya untuk hal yang sia-sia dan melalaikan akhirat.
Nikmat kesehatan memungkinkan kita bekerja, beribadah, dan beraktivitas. Namun, apakah kita sudah menggunakannya untuk kebaikan atau malah justru untuk melakukan dosa? Takut akan kufur nikmat harus menjadikan kita lebih bertanggung jawab dalam menggunakan nikmat yang kita terima.
Dengan nikmat yang begitu melimpah, sudah selayaknya kita memberi yang terbaik kembali kepada bumi ini. Menjaga lingkungan, membantu sesama, dan mengembangkan ilmu adalah wujud nyata syukur kita. Jangan sampai nikmat itu menjauhkan kita dari Allah, tetapi jadikan ia sebagai jalan menuju kedekatan spiritual yang lebih kuat.
Mendekatkan Diri kepada Allah SWT
Agar tidak terjebak dalam kekufuran nikmat, manusia harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ibadah bukan sekadar rutinitas, tapi bentuk pengakuan bahwa kita hanyalah hamba yang tidak punya daya tanpa pertolongan-Nya. Takut akan kufur nikmat akan menuntun kita untuk menjaga kualitas ibadah.
Zikir, doa, membaca Al-Qur'an, dan memperbanyak amal saleh akan menjaga hati dari kelalaian. Saat hati sibuk dengan mengingat Allah, maka nikmat dunia tidak akan membuat kita sombong. Kita akan melihat nikmat sebagai sarana untuk mendekat, bukan sebagai tujuan akhir.
Dalam Al-Qur’an disebutkan: "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi..." (QS. Al-Qashash: 77). Ayat ini menekankan agar kita menggunakan nikmat dunia untuk akhirat, bukan sebaliknya.
Dengan terus mengingat Allah dalam setiap langkah, maka kita akan menjadi pribadi yang lebih bersyukur dan rendah hati. Takut akan kufur nikmat bukanlah ketakutan yang melemahkan, melainkan pengingat yang membangkitkan kesadaran untuk terus berjalan di jalan yang diridai Allah SWT.
Syukur harus selalu ditanamkan dalam hati, lisan, dan perbuatan agar nikmat yang kita terima menjadi jalan menuju ridha-Nya, bukan menjadi bencana tersembunyi dalam kenyamanan dunia.