
Jangan Putus Asa pada Rahmat Allah SWT
Roda kehidupan seringkali membawa kita pada titik terendah, di mana beban terasa begitu berat dan jalan keluar seolah tak terlihat. Justru di persimpangan tergelap inilah, secercah cahaya paling terang menanti untuk ditemukan. Cahaya itu adalah keyakinan bahwa rahmat Allah SWT jauh lebih luas dari masalah yang kita hadapi.
Allah SWT secara tegas melarang hamba-Nya untuk berputus asa dari rahmat-Nya. Larangan ini bukan tanpa alasan, sebab keputusasaan adalah pintu masuk bagi keraguan dan lemahnya iman. Dalam Al-Quran, sikap ini bahkan disandingkan dengan kekafiran, sebagaimana nasihat Nabi Ya’qub AS kepada anak-anaknya dalam Surah Yusuf ayat 87:
وَلَا تَاْيْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يَاْيْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ
Artinya: "...dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." Ayat ini menjadi pengingat keras bahwa harapan adalah bagian tak terpisahkan dari keimanan seorang Muslim.
Rahmat Allah jauh lebih luas daripada dosa dan masalah yang kita miliki. Kita seringkali mengukur ampunan dan pertolongan Allah dengan logika kita yang terbatas, padahal kasih sayang-Nya melampaui segala batasan. Dalam sebuah Hadis Qudsi, Allah SWT berfirman:
إِنَّ رَحْمَتِيْ سَبَقَتْ غَضَبِيْ
Artinya: "Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului (mengalahkan) murka-Ku." (HR. Bukhari & Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa sifat dasar Allah adalah Maha Pengasih, dan ampunan-Nya selalu tersedia bagi mereka yang memintanya dengan tulus, tidak peduli seberapa besar kesalahan yang pernah diperbuat.
Allah menjanjikan ampunan bagi siapa saja yang mau kembali kepada-Nya dengan tulus. Ini adalah salah satu janji paling indah dalam Al-Quran, yang tertuang dalam Surah Az-Zumar ayat 53:
قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Artinya: “Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” Ayat ini adalah seruan langsung dari Allah, sebuah undangan terbuka untuk kembali ke jalan-Nya tanpa perlu merasa terbebani oleh masa lalu.
Sikap putus asa sejatinya adalah bentuk prasangka buruk (su’udzon) kepada Sang Pencipta. Ketika kita berputus asa, secara tidak langsung kita meragukan kemampuan Allah untuk menolong, mengampuni, atau mengubah keadaan kita. Padahal, seorang mukmin diperintahkan untuk senantiasa berprasangka baik (husnudzon) kepada Allah. Percaya bahwa Allah akan memberikan jalan keluar adalah bagian dari ibadah dan bukti keteguhan tauhid, yang menunjukkan keyakinan kita pada sifat-sifat-Nya yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang.
Setiap masalah dan ujian adalah kesempatan untuk memperkuat iman dan ketakwaan kita. Batu sandungan yang kita hadapi bukanlah tanda bahwa Allah meninggalkan kita, melainkan cara-Nya untuk menarik kita agar lebih dekat kepada-Nya. Ujian memaksa kita untuk mengangkat tangan dalam doa, merendahkan diri dalam sujud, dan menyandarkan seluruh harapan hanya kepada-Nya. Dengan begitu, kesulitan yang tadinya terasa sebagai beban berubah menjadi tangga untuk meningkatkan derajat kita di hadapan Allah SWT.
Rasa syukur menjadi kunci utama untuk membuka pintu-pintu rahmat yang lebih lebar. Seringkali, saat dihadapkan pada satu kesulitan, kita lupa akan ribuan nikmat lain yang masih kita miliki. Allah berjanji dalam Surah Ibrahim ayat 7:
لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ
Artinya: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu." Mensyukuri apa yang ada akan melapangkan dada dan membuat kita sadar bahwa pertolongan Allah sebenarnya tidak pernah putus, hanya saja kita terkadang terlalu fokus pada apa yang belum kita dapatkan.
Tindakan nyata seperti berbagi rezeki adalah cara praktis untuk melawan keputusasaan. Ketika kita menunaikan zakat, infak, atau sedekah, kita sedang membuktikan keyakinan kita bahwa Allah adalah Maha Pemberi Rezeki. Mengulurkan tangan untuk membantu orang lain dapat mengalihkan fokus dari masalah pribadi, menumbuhkan empati, dan mendatangkan ketenangan batin. Kebaikan yang kita lakukan menjadi bukti nyata dari harapan kita akan balasan dan rahmat dari Allah SWT, sekaligus menjadi jalan bagi datangnya pertolongan yang tidak terduga.
Setiap kesulitan adalah panggilan dari Allah agar kita kembali mendekat, bukan alasan untuk merasa ditinggalkan. Teruslah melangkah dengan keyakinan penuh, karena rahmat-Nya selalu ada untuk merangkul setiap hamba yang berharap.