
Islam, Kepedulian Sosial, dan Pengentasan Kemiskinan
Dari tahun ke tahun, kemiskinan masih menjadi prioritas pemerintah untuk mengentaskannya. Berbagai program diluncurkan untuk menanggulangi atau setidaknya mengurangi angka kemiskinan. Potret kemiskinan di Indonesia masih ditambah oleh tingginya pengangguran akibat sempitnya lapangan kerja dan akses pendidikan.
Dalam hal ini, Islam mengajarkan kepedulian sosial untuk mengatasi problem tersebut. Mengapa? Sebab, telah disadari bahwa kemiskinan dapat membuat seseorang menjadi kufur. Hal itu sesuai dengan sabda Nabi SAW, ”Hampir-hampir kemiskinan itu menjadikan seseorang kufur.”(HR Abu Nu’aim)
Kepedulian Sosial
Menurut Hidayatullah Muttaqin, salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah membangun kepedulian antara sesama anggota masyarakat. Dalam Islam kepedulian terhadap sesama ini diikat kokoh dengan tali persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah). Kekuatan persaudaraan Islam diibaratkan sebagai satu tubuh, yakni jika ada satu anggota badan yang sakit, seluruh badan merasakan sakit pula. Begitu pula jika ada saudara kita menderita karena tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kitapun turut merasakan penderitaan mereka sehingga mendorong kita menolong mereka.
Kepedulian terhadap sesama inilah yang sangat jarang kita temui saat ini terlebih di kota-kota besar. Kehidupan masyarakat disibukkan dengan rutinitas pekerjaan sehingga perhatian mereka terhadap sesamanya terabaikan. Hal ini menjadi sekat yang menghalangi kepedulian antar anggota masyarakat. Ketidakpedulian ini diperparah dengan sikap sebagian masyarakat yang menerapkan pola hidup hedonistik dan konsumtif. Bukan pemandangan aneh di Indonesia bahwa pada saat dampak krisis masih sangat terasa dan sebagian besar masyarakat memikul beban hidup yang sangat berat, barang-barang mewah tetap mendapatkan pasarannya diIndonesia, dan mobil-mobil mewah berseliweran di jalan raya.
Masyarakat Indonesia yang notabene mayoritas muslim tidak merasakan dirinya sebagai satu tubuh. Penderitaan sebagian masyarakat tidak turut dirasakan sebagian masyarakat lainnya yang hidup berkecukupan. Kondisi tersebut mengisyaratkan ada sesuatu yang salah dalam pemikiran dan pola hidup masyarakat.
Permasalahan ini berpangkal pada dangkalnya pemahaman mereka terhadap syariat Islam.Kedangkalan pemahaman tersebut menyebabkan seseorang sudah merasa cukup menunaikan ibadah mahdloh saja, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Mereka tidak memahami bahwa hubungan terhadap sesama manusia yang dilandasi ketakwaan seperti dengan melandaskan hubungan sosial kepada syariat Islam juga merupakan ibadah, bahkan wajib dilaksanakan.
Implimentasi kepedulian sosial yang dibingkai dalam ukhuwah Islamiyah adalah dengan membelanjakan (memanfaatkan) harta yang dimiliki oleh seseorang pada jalan Allah. Allah SWT berfirman: “Dan nafkahkanlah (harta kalian) di jalan Allah.” (QS Al Baqarah: 195).
Menafkahkan harta di jalan Allah berarti membelanjakan harta yang dimilikinya dengan mengutamakan pengeluaran yang wajib, baru kemudian pengeluaran yang sunah, dan terakhir yang mubah. Contohnya, memberikan nafkah keluarga secara ma’ruf, mengeluarkan zakat, memberi makan fakir miskin, menghidupi anak yatim, memberikan sedekah bagi orang-orang yang membutuhkan dan memberikan harta untuk kepentingan umum.
Sebagian harta yang kita miliki sebenarnya bukan hak kita tetapi hak orang-orang miskin, sehingga wajar jika Allah menyuruh kita menafkahkannya untuk orang lain. Firman Allah, ”Dan pada harta- harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS Adz Dzariyaat :19).
Allah sangat mencela orang-orang yang kikir mengeluarkan hartanya untuk menolong sesamanya. “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (jangan terlalu kikir dan jangan boros) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”(QS Al-Isra: 29).
Untuk itu, sudah seharusnya umat Islam terutama yang memiliki kelebihan harta lebih peduli terhadap sesama dengan membelanjakan harta di jalan Allah, tidak hanya sebatas pembayaran zakat (yang ukurannya terbatas), tetapi juga dengan meningkatkan jumlah sadaqah dan infaq harta lainnya, baik yang diberikan secara langsung kepada fakir miskin maupun yang diberikan dalam bentuk modal produktif, atau dalam bentuk lainnya.
Pandangan dan Peran Islam
Islam sebagai agama yang sempurna berusaha mengatasi kemiskinan dan mencari jalan keluarnya serta mengawasi kemungkinan dampaknya. Tujuannya, menyelamatkan akidah, akhlak, dan amal perbuatan; memelihara kehidupan rumah tangga; melindungi kestabilan dan ketenteraman masyarakat, serta mewujudkan jiwa persaudaraan antara sesama kaum muslimin. Karena itu, Islam menganjurkan agar setiap individu memperoleh taraf hidup yang layak di masyarakat (As-Sunnah, 05/XIII/2011).
Tidak bisa dibenarkan menurut pandangan Islam adanya seseorang yang hidup di tengah masyarakat Islam dalam keadaan kelaparan, berpakaian compang- camping, meminta-minta, menggelandang, atau membujang selamanya.
Jadi, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah, orang kaya, dan kaum Muslimin untuk menolong saudaranya agar mencapai taraf kehidupan layak? Dan bagaimana peran Islam dalam meningkatkan taraf hidup mereka?
Dikutip dari majalah As Sunnah (05/XIII/2011), dalam memberikan jaminan bagi umat Islam menuju taraf hidup yang terhormat, Islam menjelaskan berbagai cara dan jalan. Pertama, bekerja. Setiap orang yang hidup dalam masyarakat Islam diwajibkan bekerja atau mencari nafkah. Mereka juga diperintahkan agar berkelana di muka bumi ini serta makan dari rezeki Allah SWT. Mencari nafkah merupakan senjata utama untuk mengatasi kemiskinan. Ia adalah sarana pokok untuk memperoleh kekayaan serta merupakan faktor dominan dalam memakmurkan dunia. Dalam Islam, seorang buruh tidak boleh dihalang-halangi untuk menerima upah kerjanya. Bahkan ia harus menerima upah sebelum keringatnya kering.
Kedua, mencukupi keluarga yang lemah. Salah satu konsep syariat Islam adalah bahwa setiap individu harus menanggulangi kemiskinan dengan mempergunakan senjatanya, yaitu dengan berusaha. Namun, di balik itu, juga harus ada usaha untuk menolong orang-orang lemah yang tidak mampu bekerja.
Konsep yang dikemukakan untuk menanggulangi hal itu ialah adanya jaminan antar anggota keluarga. Islam memerintahkan anggota keluarga saling menjamin dan mencukupi. Sebagian meringankan penderitaan anggota yang lain. Allah SWT berfirman, ”...Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut kitab Allah...” (QS Al Anfal [8]:75) Islam mewajibkan orang-orang kaya agar memberikan nafkah kepada keluarganya yang miskin. Ini berarti Islam telah meletakkan modal pertama bagi terciptanya jaminan sosial. Nafkah itu bukan hanya sekadar anjuran yang baik, tapi merupakan satu kewajiban dari Allah SWT untuk dilakasanakan. Karena itu, sebagian hak setiap orang miskin yang muslim adalah mengajukan tuntutan nafkah kepada keluarganya yang kaya.
Ketiga, zakat. Islam tidak bersikap acuh tak acuh dan membiarkan nasib fakir miskin terlantar. Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan bagi mereka suatu hak tertentu yang ada pada harta orang-orang kaya, dan suatu bagian yang tetap dan pasti, yaitu zakat. Sasaran utama zakat adalah mencukupi kebutuhan orang-orang miskin.
Usaha Islam dalam menanggulangi kemiskinan itu bukanlah suatu usaha yang sambil lalu, temporer, atau setengah-setengah. Pemberantasan kemiskinan, bagi Islam, justru merupakan salah satu asas yang khas dengan sendi-sendi yang kokoh.
Masih banyak upaya yang dianjurkan dalam agama Islam dalam mengatasi problem kemiskininan ini. Apabila benar-benar dilaksanakan secara baik dan optimal, manfaatnya tentu dapat dirasakan oleh masyarakat. Yang paling penting, negara mampu menjalin sinergi dengan rakyatnya dalam hal pengentasan ini. (dikutip dari berbagai sumber)