
Hukum Transplantasi Rambut untuk Kepala Botak
Transplantasi rambut atau cangkok rambut dianggap sebagai solusi untuk mengatasi kebotakan. Prosedur ini diyakini mampu mengembalikan rambut pada kulit kepala yang mengalami penipisan rambut atau mulai botak. Untuk mengatasi kebotakan rambut, sebenarnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan, tetapi yang paling populer salah satunya adalah menjalani transplantasi rambut atau cangkok rambut.
Secara sangat singkat, prosedur transplantasi rambut dapat digambarkan sebagai berikut: setelah kulit kepala dibersihkan, obat bius akan disuntikkan ke kulit kepala. Kemudian sesudah cangkokan rambut siap, maka dokter akan membersihkan dan mempersiapkan lokasi yang akan ditanami rambut, lalu membuat lubang sesuai dengan jumlah cangkokan yang dibuat dengan jarum khusus, selanjutnya cangkokan rambut akan ditanam di lubang-lubang tersebut.
Terkait dengan hukum transplantasi rambut ini, prinsip umum yang harus dipedomani adalah, bahwa mengubah ciptaan Allah SWT yang bersifat permanen dengan pengubahan yang juga permanen itu dilarang. Allah SWT mengecam keras upaya mengubah ciptaan- Nya secara permanen (baca an-Nisa 119).
Sedangkan pengubahan ciptaan Allah SWT yang diperbolehkan adalah jika ciptaan Allah SWT itu bersifat tidak permanen (immanent = bisa berubah), seperti umumnya sifat benda. Mengubah kayu menjadi meja, tanah menjadi bata, barang tambang menjadi logam dll. tentu diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Hal ini karena memang benda-benda tersebut diciptakan untuk sebesar-besar kemanfaatan manusia. Agar bisa bermanfaat, maka harus diolah dan diubah sesuai peruntukannya (baca al-Baqarah 29).
Jika ciptaan Allah SWT itu bersifat permanen, tetapi pengubahannya tidak permanen (bisa kembali seperti semula), maka juga diperbolehkan. Menyemir rambut yang sudah memutih menjadi hitam, mencukur habis kumis, mencukur sebagian alis, mengenakan kutek (pacar) pada kuku dan sebagainya, diperbolehkan karena semuanya tidak permanen dan bisa kembali seperti semula.
Dalam sebuah hadits shahih (riwayat Muslim) diceritakan, bahwa ketika Rasulullah SAW mengetahui rambut dan jenggot Abu Quhafah (ayah Abu Bakr RA) telah memutih, beliau menyuruh menyemirnya asal tidak dengan warna hitam (mengenai dilarangnya warna hitam ini perlu penjelasan tersendiri). Dalam kitab al-Muwaththa’ disebutkan, bahwa Abu Bakr RA juga menyemir rambutnya.
Demikian juga diperbolehkan mengubah ciptaan Allah SWT jika disebabkan sakit, tidak normal atau cacat. Pada dasarnya manusia itu diciptakan dalam sebaik-baik postur dan kedudukan yang terhormat. Tetapi dalam realitas kehidupan tidak sedikit orang yang terlahir tidak normal atau cacat.
Dalam beberapa kasus ada juga yang terlahir normal, tetapi karena menderita sakit tertentu atau karena kecelakaan, maka bagian badan tertentu menjadi tidak normal atau cacat. Dalam keadaan seperti ini, boleh dilakukan upaya–upaya medis bagi kembalinya ciptaan secara normal. Hal ini dimaksudkan agar postur terbaik bagi manusia dapat terpenuhi dan kehormatan yang bersangkutan dapat terjaga (baca at-Tiin ayat 4 dan al-Israa’ ayat 70).
Hukum transplantasi rambut
Berdasarkan prinsip umum di atas, maka pengubahan ciptaan Allah SWT yang permanen dengan cara permanen pula yang diperbolehkan hanyalah jika dalam keadaan darurat, seperti sakit, tidak normal atau cacat.
Keadaan demikianlah yang dapat didasarkan pada kaidah fiqhiyyah: Adl-Dlaruuraatu tubiichul machdhuuraat (keadaan darurat itu menyebabkan bolehnya dilakukan hal-hal yang dilarang).
Mengenai transplantasi rambut, jika kebotakan itu dianggap sakit atau dikiaskan dengan sakit (tidak normal), maka dapat menggunakan dasar kaidah darurat di atas, yakni: “Adl-Dlaruuraatu tubiichul machdhuuraat” (keadaan darurat itu menyebabkan bolehnya dilakukan hal-hal yang dilarang).
Sebagai muslim tentu harus dapat menata hati dan meluruskan niat untuk apa melakukan transplantasi rambut, misalnya menjaga penampilan seorang muslim dalam pergaulan, semata karena Allah SWT.
Tidak kalah penting terkait transplantasi rambut ini adalah tidak ada tindakan dokter yang menambah unsur di luar tubuh atau menempuh prosedur yang menyalahi ketentuan syariat Islam, misalnya menggunakan bahan terlarang.
Ilustrasi senada dengan masalah ini terdapat dalam kitab Fatchul Baariy (Syarah hadis al-Bukhariy):
“Tidak boleh bagi wanita untuk mengubah ciptaan Allah SWT yang telah diciptakan untuknya, menambah ataupun mengurangi sekedar untuk kecantikan dan tidak untuk suami...Itu semua termasuk dalam larangan, yaitu mengubah ciptaan Allah SWT... Terkecuali dalam hal yang menyebabkan bahaya dan kesakitan, seperti orang yang mempunyai gigi lebih atau panjang yang mengganggu ketika makan atau jari tambahan yang menyakitkannya, maka ini diperbolehkan. (Dan wanita yang memangkur gigi untuk kecantikan) dapat dipahami , bahwa perbuatan yang tercela adalah yang dilakukan demi kecantikan (semata). Namun jika perbuatan itu dilakukan karena memang diperlukan seperti untuk berobat, maka hal itu boleh.”
Penulis: Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA (Dewan Syariah LAZIS Nurul Falah)