
Hukum Patungan Kurban Sapi
Sesuai ketentuan yang digariskan oleh Rasulullah SAW bahwa ”kuota” kurban itu adalah: seekor unta, sapi, atau kerbau berlaku atau dapat dipakai kurban untuk tujuh orang.
Jabir bin Abdullah RA, salah seorang sahabat Rasulullah SAW dari kaum Anshar, mengatakan, “Kami telah menyembelih kurban bersama Rasulullah SAW pada tahun Hudaibiyah, seekor unta untuk tujuh orang, dan seekor sapi juga untuk tujuh orang” (HR Muslim).
Sementara domba atau kambing hanya berlaku untuk satu orang per ekornya. Hal ini merujuk pada hadis sahih bahwa Rasulullah SAW senantiasa berkurban dengan dua ekor domba pada setiap hari raya Idul Adha, satu untuk beliau sendiri, dan satu lagi diniatkan untuk umatnya (HR al-Jama’ah). Juga dikiaskan dengan orang yang meninggalkan wajib haji harus membayar dam (denda) dengan menyembelih seekor kambing/domba.
Ada yang mengatakan bahwa kurban itu hanya sah dan sesuai sunah jika dilaksanakan dengan menyembelih kambing/domba. Bagi kalangan ini, kurban dengan unta, sapi, atau apalagi kerbau itu dianggap bid’ah karena Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya.
Orang-orang semacam ini perlu belajar lagi dan banyak membaca. Benar bahwa dalam suatu riwayat Rasulullah SAW selalu berkurban dengan kambing/domba (HR al-Jamaah).
Tetapi, dalam riwayat lain beliau bersama para sahabat pernah berkurban dengan unta dan sapi. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA: ”Kami dalam perjalanan bersama Rasulullah SAW kemudian datanglah Hari Raya Kurban, maka kami berkurban dengan sapi untuk tujuh orang dan onta untuk sepuluh orang” (HR at-Turmudziy dan an-Nasa-iy).
Soal kerbau, memang itu hasil qiyas (analogi) dengan sapi karena dalam hampir keseluruhannya (selain kulit) kerbau itu menyerupai sapi, maka kurban dengan kerbau juga diperbolehkan. Bahkan, di daerah Kudus (Jawa Tengah) hampir tidak ada orang yang berkurban dengan sapi.
Hal ini disebabkan adanya fatwa Sunan Kudus bahwa demi menghormati kaum Hindu yang memuliakan (bahkan mengultuskan) sapi, maka umat Islam setempat dilarang berkurban dengan sapi, melainkan harus diganti dengan kerbau. Itulah toleransi indah dan bijak dari salah seorang Wali Songo dalam dakwahnya.
Soal unta itu untuk tujuh atau sepuluh orang, memang hal ini diperselisihkan. Tetapi, pendapat yang terbanyak adalah untuk tujuh orang karena hadisnya lebih kuat.
Namun, sebenarnya hadis yang dianggap lebih kuat tersebut dijadikan dalil hanya berdasar qiyas (analogi) karena tidak terkait dengan kurban, melainkan berkenaan dengan dam/hadyu haji.
Sementara hadis yang dianggap tidak lebih kuat tersebut justru langsung berkaitan dengan kurban sehingga lebih tepat menjadi dasar hukum.
Apalagi, pendapat ini didukung oleh argumen lain dengan hadis yang lebih kuat walaupun tidak terkait langsung dengan kurban, bahwa Rasulullah SAW menyamakan seekor onta dengan sepuluh ekor kambing (HR al-Bukhariy dan Muslim dari Rafi’ bin Khudaij ra).
Persoalan lain yang muncul mengenai kurban adalah bagaimana dengan kebiasaan masyarakat yang menggalang pembelian sapi secara patungan, urunan atau iuran secara kolektif tujuh orang? Jika mengacu pada ketentuan di atas, bahwa seekor sapi mencukupi untuk tujuh orang, maka tidak ada masalah, justru itu yang menjadi maqashid syari’ah (tujuan pokok ajaran Islam).
Apalagi jika mengacu pada hadis sahih, bahwa Rasulullah SAW setiap tahun berkurban dengan dua ekor domba, yang seekor untuk beliau sendiri dan yang seekor lagi untuk umatnya. Maka, kurban secara patungan ini mendapat sandaran hukum yang kuat bahwa satu hewan bisa dibeli dan dijadikan kurban secara kolektif.
Perlu juga diketahui bahwa seorang kepala keluarga diperbolehkan melaksanakan kurban dengan seekor kambing/domba, atau 1/7 sapi untuk seluruh anggota keluarga yang berada di bawah tanggung jawab nafkahnya.
Jadi, walaupun pada prinsipnya seekor kambing atau sepertujuh sapi itu untuk satu orang, tetapi bagi kepala keluarga boleh dan sah kurban dengan seekor kambing atau sepertujuh sapi diniatkan untuk seluruh anggota keluarganya.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW (yang maknanya): ”Hai sekalian manusia, sungguh merupakan keharusan bagi tiap-tiap keluarga untuk berkurban setiap tahun…” (HR Abu Dawud, at-Turmudziy, an-Nasa-iy dan Ibnu Majah dari Mikhnaf bin Sulaim RA), juga berdasarkan hadis riwayat al-Jamaah tersebut di atas. Wallaahu a’lam
Oleh: Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, M.A.