
Hukum Bekerja di Bank Konvensional Bagian II
Baca Bagian Pertama : Hukum Bekerja di Bank Konvensional Bagian I
b. Muhammad Rasyid Ridla berpendapat bahwa riba yang dilarang dalam surah Al-Baqarah 278 adalah riba yang berlipat ganda, sebagaimana dimaksud dalam. surat Ali ‘Imran ayat 130, sesuai dengan sebab dan kondisi diturunkannya ayat tersebut. Dengan demikian, ‘illat (sebab) diharamkannya riba adalah adanya unsur penganiayaan sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Baqarah ayat 279.
Jika bunga itu bersifat konsumtif dalam arti bunga tersebut dikenakan pada pengutang yang berada di sektor konsumtif (menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari dan bukan untuk usaha yang berdaya hasil), maka bunga tersebut sama dengan riba dan hukumnya haram, karena adanya kesamaan ‘illat, yaitu terjadinya penganiayaan yang berupa pemerasan atau pemberatan beban sebagaimana dinyatakan dalam surah Al-Baqarah ayat 279 di atas.
4. Yang menyatakan bahwa bunga bank adalah syubhat
Karena samarnya pengertian, tipisnya perbedaan dan adanya kemiripan ataupun persamaan antara bunga dan riba, hal ini menimbulkan keraguan. Maka, sulit memastikan halal atau haramnya bunga bank. Sesuatu yang berada dalam wilayah antara halal dan haram adalah syubhat (tidak jelas halal-haramnya), sebagaimana sabda Rasulullah SAW (yang maknanya):
“Yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas, sedangkan di antara keduanya banyak syubhat (samar, tidak jelas) yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Maka, siapa yang menghindari syubhat selamatlah agama dan kehormatannya dan siapa yang terjerumus dalam syubhat, bagaikan penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang, boleh jadi terjerumus ke dalam larangan itu. Ingatlah bahwa bagi setiap penguasa ada larangan; ingatlah bahwa larangan Allah SWT adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad (manusia) ada segumpal darah beku; jika dia baik, maka baiklah semua jasadnya, tetapi bila dia rusak, rusak pulalah semua jasadnya. Ingat, itulah hati (jantung)” (HR Al-Bukhariy).
Membahas masalah riba dan bunga bank harus ditemukan kata kuncinya guna menentukan apa maqaahsid asy- syarii’ah (tujuan pokok syariat Islam) yang melatarbelakangi dilarangnya riba. Dalam ayat- ayat yang berkaitan dengan riba, ada ungkapan penting yang dapat djadikan pijakan hukum sebagai kata kunci mengenai masalah ini, yaitu pengujung ayat 279 dari surat Al-Baqarah yang berbunyi: laa tadhlimuuna walaa tudhlamuun (kalian tidak merugikan dan juga tidak dirugikan).
Dengan demikian, dapat dipahmi bahwa tujuan pokok syariat Islam mengenai dilarangnya riba adalah agar tidak ada pihak mana pun yang dirugikan. Jadi, yang dinamakan riba adalah segala pertambahan akibat utang-piutang yang berdimensi merugikan orang. Sementara yang tidak merugikan atau malah menguntungkan banyak pihak, tentunya harus tidak dinamakan riba, melainkan bunga, dan harus berada di luar hukum haram.
Nah, dengan demikian, hukum bekerja di bank konvensional, yang menerapkan sistem bunga dalam transaksinya, tergantung pemahaman dan kemantapan orang yang bersangkutan terhadap hukum bunga bank. Jika dia meyakini haramnya bunga bank karena disamakan dengan riba, maka bekerja di bank konvesional hukumnya haram, gajinya juga haram.
Jika meyakini bahwa bunga bank itu berbeda dengan riba dan hukumnya tidak haram, asal tidak terjadi pemerasan, maka bekerja di bank yang menerapkan sistem bunga juga tidak haram, gajinya juga tidak haram. Tetapi, jika ragu dan menganggap bunga bank itu syubhat (samar), maka hukum bekerja di bank konvensional juga syubhat, gajinya juga syubhat, dan siapa yang berada di wilayah syubhat berarti berada di wilayah berbahaya dan hukumnya haram.
Sebagai bahan renungan dan pertimbangan terkait bunga bank, jika dianggap sama dengan riba atau bahkan riba itu sendiri, maka bagaimana dengan nasib ratusan ribu (mungkin jutaan) pensiunan pegawai bank, bagaimana nasib ratusan ribu (mungkin jutaan) pegawai bank, bagaimana nasib ratusan juta orang yang masih bertransaksi dengan bank konvensional, baik untuk usaha, untuk menerima gaji, untuk beli rumah, mobil, motor, dan lain-lain, bahkan untuk pergi haji dan umrah.
Masalah riba dan bunga ini juga bisa dilustrasikan dengan telek (kotoran) luwak dan kopi luwak. Sama-sama keluar dari dubur luwak, tetapi hukumnya berbeda karena wujud dan kemanfaatannya berbeda. Wallaahu a’lam.