Kembali
image
Keislaman

Hanya Sia-Sia

2 tahun yang lalu ● Dibaca 177x

Ada seorang kawan yang bercerita tentang tumbuhnya semangat beragama di lingkungan perumahannya. Kawan saya ini tinggal di sebuah perumahan yang cukup bergengsi, telah berdiri sebuah masjid mungil yang indah di tengah perumahan. 

Masjid ini bagaikan pelita pemberi cahaya yang bersinar di lingkungan sekitarnya. Shalat lima waktu minimal dua shaf, sekitar lima puluh orang, bahkan jika shalat Isya dan Subuh bisa empat shaf. Kegiatan taklim juga rutin diselenggarakan oleh takmir masjid mulai dari harian, mingguan, hingga bulanan. Pesertanya memang tidak selalu banyak, tetapi tetap istiqomah dilakukan oleh sang takmir.

Bahkan, kegiatan TPQ juga berjalan baik. Jamaah ibu-ibu atau muslimah juga berlangsung variatif. Seminar dan diskusi tidak jarang diadakan oleh ibu-ibu. Majelis bapak-bapak juga tidak kalah semaraknya karena tiga kali dalam sepekan sesudah shalat Isya diadakan pula belajar membaca Alquran. 

Dalam setahun terakhir kesemarakan tersebut bertambah berlipat-lipat. Sebab, beberapa rumah di blok besar membuka pengajian umum yang mengundang jamaah masjid dan warga sekitar. Bahkan, tidak jarang jamaah rutin sang ustad yang berasal dari kampung agak jauh ikut pula bergabung sehingga menjadi banyak dan suasana perumahan menjadi meriah dan ramai orang mengikuti pengajian.

Ustad yang mereka undang sesuai keinginan sohibul bait sehingga selalu bergantian. Hanya, hal yang sulit dihindari kadang terjadi membahas topik yang sama tetapi penulisannya berbeda. 

Sebagian jamaah ada yang menyampaikan kekhawatirannya bahwa akan terjadi persinggungan, tetapi salah seorang tokoh di perumahan tersebut hanya tersenyum sambil berkomentar, “Biarlah, orang ngaji tidak usah prasangka. Jika semakin sering mengaji, semakin luas pengetahuannya dan semakin baik pemahamannya. Pokoknya, kecintaannya pada masjid semakin besar.” 

Memang banyak orang menyelenggarakan majelis taklim, mengundang ustadz, mengumpulkan jamaah, dan menggebu-gebu membahas satu tema. Tetapi, yang sesungguhnya lebih penting adalah bagaimana melatih hati kita agar tetap melihatnya dan menjalani dari sudut niat yang bersih.

Bila niat tidak lagi bersih, melihat kehadiran jamaah yang banyak, penyakit hati yang akan muncul adalah ujub, merasa kagum terhadap diri sendiri, merasa banyak orang simpati padanya, merasa dihormati dan undangannya diminati banyak orang, merasa ustad pilihannya adalah yang top, atau hidangan yang disajikannya enak, dan segala macam perasaan lain yang merusaknya. 

Atau tetangga lain yang juga mengadakan kegiatan serupa hendaklah benar-benar menjauhkan diri dari sifat hasud yang akan memusnahkan amal salehnya. Bagaimana tidak, jika merasa “jamaah yang datang ke rumahku lebih sedikit?”

Kemudian ia jawab sendiri “Ya, memang dia suguhannya lebih enak. Rumahnya lebih besar dan ustadnya lebih berkelas...” akhirnya ia menghibur diri ”... sudah biar walaupun jamaahku sedikit, yang penting istiqomah.”

Penyakit-penyakit seperti ini yang sering menggerogoti keabsahan amal saleh kita di hadapan Allah SWT. Segala pengorbanan yang sudah dilakukan akan sia-sia begitu saja, bahkan kesia-siaan sama sekali tidak dirasakan, hanya memetik penyesalan yang sangat mendalam saat sudah berada di mahkamah Allah rabbul ‘izzati. Nastaghfiruka ya maulana.

Hanya Sia-Sia