Kembali
image
Keislaman

Dahulukan Mana, Menerima Tamu atau Menyelesaikan Zikir Usai Shalat?

2 tahun yang lalu ● Dibaca 538x

PERTANYAAN

Assalamu’alaikum wr wb.

Saya mohon penjelasan tentang dua hal. Pertama, jika pembantu rumah tangga mendapat perintah majikan, padahal ia sedang bersiap melakukan shalat, mana yang harus didahulukan? Kedua, saya istiqamah membaca Al-Qur’an setengah juz setiap selesai salat, lalu pada saat itu, datanglah seorang tamu. Mana yang harus saya dahulukan? Demikian, saya ucapkan terima kasih atas penjelasan pengasuh. Jamal bin Addul Jalil – Pekalongan

JAWABAN

Wa’alaikumsalam wr wb. Saya akan menjelaskan dua pertanyaan Bapak Jamal yang sangat menarik. Dua pertanyaan ini termasuk masalah yang diperdebatkan para ulama tentang mana yang harus didahulukan, memenuhi kewajiban kepada Allah atau manusia. Menurut saya, dahulukan mengerjakan perintah majikan daripada shalat awal waktu. 

Alasannya, memenuhi perintah majikan adalah sebuah kewajiban sesuai dengan kontrak kerja, sedangkan shalat awal waktu hanya sunnah. Dahulukan yang wajib daripada yang sunnah. Masalah yang kedua juga sama. Dahulukan menerima tamu daripada melanjutkan membaca Al-Qur’an. 

Sekali lagi, dahulukan yang wajib daripada yang sunah. Alasan lainnya, dari sudut kerugian atau efek negatif yang timbul jika kewajiban itu tidak kita dahulukan. Jika majikan marah, lalu pembantu dipecat, hal tersebut berarti pembantu kehilangan sumber penghasilan yang amat dibutuhkan keluarganya. Silaturahmi juga menjadi terputus. Demikian juga jika tuan rumah menunda menerima tamu dan melanjutkan bacaan Al-Qur’an, maka tamu bisa saja tersinggung dan jengkel. Apalagi jika ia punya tugas lain yang harus dikerjakan pada jam berikutnya. 

Jika demikian, putuslah silaturahmi antara mereka. Tapi, jika bisa dikerjakan keduanya, hal ini akan lebih baik. Misalnya, tuan rumah meminta izin tamu untuk melanjutkan bacaan Al-Qur’an sebentar dan segera menemuinya setelah selesai. Jika tamu mengizinkan, efek negatif itu bisa dihindari. Apalagi jika kita ingat bahwa menjalankan kebiasaan yang baik, misalnya puasa sunah, shalat sunnah, dan sebagainya bisa diganti (qadha’) pada waktu yang lain. 

Ada tiga pijakan dalam pendapat saya ini. 

Pertama, firman Allah, “dan berlombalah kamu dalam kebaikan,” (QS Al-Baqarah [2]: 148). 

Kedua, firman Allah, “Janganlah kamu mencaci Tuhan selain Allah yang mereka sembah, sebab mereka akan mencaci Allah melampaui batas tanpa pengetahuan (sedikitpun).” (QS An-An’am [6]: 108). 

Ibnu Taimiyah pernah membiarkan pemuda yang mengkonsumsi miras. Sebab, ia yakin, jika peminum itu diingatkan, akan timbul kezaliman yang lebih besar, yaitu membahayakan harta, kehormatan, dan nyawa orang lain. 

Ketiga, kaidah dalam penetapan hukum Islam, “Jika beberapa kebaikan bertemu dalam satu waktu, maka dahulukan yang lebih besar manfaatnya. Dan jika beberapa keburukan bertemu dalam satu waktu, maka lakukan yang lebih kecil dosa atau risikonya” 

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu ta’ala a’lam.

Penulis : Prof. Dr. H. Moh. Ali Aziz, M.Ag