
Buah Ketaatan Seorang Hamba
Beberapa hari yang lalu seorang kawan berbagi dengan saya tentang kesulitan mendidik anak dalam menegakkan shalat, sementara mereka sudah dewasa bahkan alumni dari pondok pesantren.
Pendek cerita, ketegangan dalam rumah tangganya sudah sangat menggelisahkan dirinya. Bagaimana tidak, dua anak lelakinya yang telah lulus mondok dari sebuah pesantren shalat wajibnya tidak tegak sebagaimana yang diharapkannya. Gara-gara hal ini pula, dia tidak jarang bersitegang dengan istrinya. Sebab, istrinya begitu “juweh” untuk selalu bertanya, mengomentari dan mengecek bahkan tak jarang menginvestigasi ibadah shalat anak-anaknya.
Yang sangat menggelisahkan dirinya sekarang adalah suasana di rumah menjadi sangat tidak nyaman. Sebab, suasana tidak harmonis menyelimuti hubungan dirinya dengan anaknya. Sering saling diam, bicara sebatas keperluan saja dan masing-masing sibuk ber-HP ria saat berkumpul di rumah.
Beberapa kali hal-hal kecil menjadi sumber konflik antara dirinya dan anak-anaknya serta istrinya semakin cerewet kepada anak-anaknya. Padahal, anak-anak tampak semakin enggan mendengar nasihat darinya. Pokok pembahasan “hanya” soal shalat, mulai dari wudhunya, lamanya shalat, bahkan sajadah yang digunakan bisa-bisa menjadi masalah serius bagi mereka.
Karena mereka adalah anak laki-laki, mereka begitu saja meninggalkan rumah tanpa memberi tahu ke mana dan kapan akan pulang. Hal ini pun yang menjadikan dirinya semakin kerepotan. Jika dicereweti, mereka menghindar bahkan menjauh. Tetapi, jika dibiarkan, rasanya diliputi dosa karena membiarkan anak-anak shalatnya tidak benar.
Memang karena kuatnya rasa tanggung jawab sebagai orang tua sehingga merasa harus melakukan semuanya. Ia merasa akan melakukan kesalahan besar dan akan menanggung dosa besar jika anaknya tidak beres shalatnya. Mereka telah dipondokkan, setiap hari sudah diasuh sendiri, dan ditambahi perasaan bahwa dirinya dan istrinya adalah orang yang sangat paham agama karena ketika muda juga mondok di pesantren.
Di akhir curhatannya, saya berbagi dengan membuat analogi orang menanam. Selama masa kanak-kanak hingga remaja ibarat menanam benih. Benih shalat yang ditanam pada diri anak-anak berupa ilmu dan kaifiyah shalat, maka ketika mereka telah dewasa, maka yang diberikan orang tua pada anak tentu harus berbeda. Mereka tidak mungkin lagi diceramahi, diberi tahu jelas- jelaskan tentang hukum dan kaifiyah shalat.
Diusia dewasa mereka, saatnya orang tua menunjukkan buahnya shalat. Orang tua yang telah berpengalaman menjalani shalat bertahun-tahun, dengan pemahaman dan praktik berulang-ulang, maka buah itulah yang dinantikan oleh anak-anak.
Bisa diperkirakan kesimpulan yang terbentuk dalam benak anak kita yang telah dewasa, ketika melihat orang tuanya yang telah menunaikan shalat puluhan tahun dan memahami betul kaifiyah serta dalilnya. Tetapi, dampak yang diunduhnya adalah sikap cerewet, mudah marah, tidak mempercayai dan masih menganggap bodoh. Maka, wajar jika mereka menunjukkan sikap tidak senang shalat dan tidak salah bila tidak menyukai orang shalat, naudzubillah min dzalik.
Sikap anak adalah pantulan cermin sikap orang tua. Dalam pepatah Jawa disebutkan “Kacang ora bakal ninggal lanjarane” yang maknanya “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Ajaran shalat yang mulia terhijab oleh sikap buruk orang tua pada anak sehingga rasa tidak senang yang terbentuk dalam diri anak terhadap sikap buruk sebenarnya sebagai respons yang wajar, tetapi berakibat fatal. Sikap tidak senang tersebut dilampiaskan kepada orang tuanya dan shalatnya.
Dekat dengan orang tua hanya tekanan mental, shalat dirasakan sebagai beban yang merepotkan dan menyulitkan, dalam keadaan seperti ini, dalil dan argumentasi tidak akan diterima oleh anak-anak.
Rabbij’alnii muqimassholati wa mindzurriyati, rabbana wa taqabbal du’aa. (Ustd. H. Mim Saiful Hadi, M. Pd)