
Buah Kesabaran
Kisah seorang kawan yang mendapatkan rumah dinas setelah bertahun-tahun ditugaskan oleh lembaganya untuk berdakwah di daerah baru. Ia harus berpisah dengan keluarganya karena fasilitas untuk keluarga belum tersedia.
Dalam penggal kisahnya, suatu ketika dirinya berada dalam perasaan rindu yang tak bisa lagi tertahan. Dia pun rela menyewa penginapan sederhana untuk bisa berkumpul bersama keluarganya. Walaupun untuk itu ia harus menempuh perjalanan ke kota dan mengeluarkan biaya sewa dari kantongnya sendiri, sudah tidak diperhitungkan lagi, ia melakukan begitu saja.
Setelah lama bersabar, harapan itu dikabulkan. Lembaga tempatnya berjuang membuatkan sebuah rumah tinggal sederhana, meskipun tidak cukup jika seluruh anaknya datang, tetapi ia menerimanya dengan penuh rasa syukur dan terima kasih.
Terhadap rumah tinggal tersebut, akad yang ia tandatangani adalah pinjam pakai. Ia hanya menempati selama bertugas dan akan ditinggalkan begitu saja bila kelak telah selesai melaksanakan tugasnya.
Ada kalimat indah yang dia sampaikan ketika itu, ”Alhamdulillah saya menempati rumah ini dengan status pinjam pakai. Menurut saya memang begitulah kita hidup di dunia ini, semua ini sesungguhnya hanyalah pinjam pakai. Kita tidak benar-benar memiliki apapun karena pemilik sesungguhnya adalah Allah Yang Maha Kuasa.”
Bila kita renungkan, selama di dunia ini, ada orang yang merasa memiliki banyak hal, rumah, anak, kendaraan, perhiasan, perusahaan, dan sebagainya, padahal semua itu hanya perasaan atau hanya tertulis di atas selembar kertas yang namanya sertifikat. Tetapi, ketika hak hidup diambil kembali oleh Pemiliknya, selesai sudah semuanya. Segala hal yang diklaim menjadi miliknya ternyata tak secuil pun mampu kita bawa.
Bila ada yang jemawa, merasa mampu mengubah segala sesuatu karena kekuasaan yang dimiliki, atau dapat menentukan segalanya karena hartanya melimpah, sungguh dirinya telah tertipu. Sebab, semua itu hanya semu belaka. Jumlah air, jumlah udara, jumlah daratan tetap akan sama, bahkan kekayaan manusia sekalipun, sesungguhnya sama, dari dulu hingga sekarang.
Allah SWT hanya mempergilirkan satu sama lain, dari satu masa ke masa yang lain, dari satu bangsa ke bangsa yang lain, dari satu kaum pada kaum yang lain, dari satu keluarga ke keluarga yang lain, ibarat air dalam nampan besar, Allah Yang Maha Kuasa hanya menggoyang ke arah bergantian.
Demikian pula halnya dengan hiruk-pikuk kontestasi pemilu, istana kepresidenan yang diperrebutkan, kursi jabatan yang diidamkan atau beragam konsesi sumber kekayaan yang dijanjikan, sungguh hanya tipuan belaka. Penyesalan yang tidak terperikan, bila dalam mencapainya menempuh jalan sesat, curang dan penuh siasat jahat.
Akal sehat mana yang membenarkan jika kita berjuang mati-matian, tidak peduli dengan cara halal atau haram, demi memperoleh suatu kenikmatan yang sementara, sedangkan yang pasti ditinggalkan begitu saja, padahal pasti semuanya diminta kembali oleh Sang Pemiliknya?
Marilah kita berhenti ”menguasai” atau ”memiliki” padahal sesungguhnya bukan milik kita sama sekali. Silakan menjadi presiden, menteri, legislator, atau penguasa wilayah, semua itu pasti akan kita tinggalkan karena itu bukan milik kita. Milik kita sesungguhnya adalah apa yang telah kita lakukan terhadap semua itu, ucapan, tindakan bahkan perasaan akan melekat dan terus terbawa hingga roh kita berjumpa kembali dengan Allah SWT Sang Pemilik sesungguhnya.
Penulis : Ustaz. H. Mim Saiful Hadi, M. Pd (Sekretaris Yayasan Nurul Falah)