Kembali
image
Keislaman

Bolehkah Sholat Mengharapkan Surga?

2 tahun yang lalu ● Dibaca 2885x

Pertanyaan

Assalamu’alaikum wr wb. Saya seorang ibu di pedesaan. Tiba-tiba saja, anak saya memberi tahu bahwa menurut ustaz yang ceramah di musala dekat rumah mengatakan, shalat harus dikerjakan hanya untuk mengharap rida Allah, tidak boleh mengharap surga. Apa betul demikian? Mohon penjelasan bapak pengasuh. Ainy Suroyah – Blitar

Jawaban

Wa’alaikumussalam wr. wb. 

Terima kasih atas pertanyaan Ibu Ainy Suroyah yth. Pertanyaan ini amat sering diajukan pembaca, tapi tetap penting untuk dijawab, sebab hal ini terkait dengan keimanan. Saya amat yakin, anak ibu salah dengar, atau tidak komplet mendengarkan ceramah. 

Ustaz itu pasti sudah mengetahui ayat berikut ini karena ayat ini terletak pada halaman-halaman pertama Al-Qur’an,

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ 

“Dan orang-orang yang beriman serta melakukan kebajikan, mereka itulah penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya” (QS Al-Baqarah [2]: 82).

Ayat ini memberikan informasi sekaligus dorongan kita untuk memperbanyak perbuatan baik agar kelak bisa meraih surga, puncak kenikmatan di akhirat. Di antara semua perbuatan yang baik itu, shalatlah ibadah yang paling utama, bahkan sebagai tiang agama dan pembeda utama antara muslim dan kafir. Andaikan mengharap surga itu dilarang, tidaklah mungkin Allah berfirman sebagaimana dikutip di atas. Nabi SAW juga menjanjikan,

“Shalat lima waktu telah diwajibkan Allah SWT untuk semua hamba-Nya. Barangsiapa mengerjakannya (dengan sempurna), tidak mengurangi sedikit pun kewajiban di dalamnya, maka ia termasuk orang yang dijanjikan Allah masuk surga. Sedangkan orang yang tidak mengerjakan shalat, maka ia tidak termasuk yang dijanjikan Allah masuk surga. Allah bisa saja memberi siksa atau tetap memasukkannya ke dalam surga” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Shalat dengan mengharap surga masih termasuk ibadah yang ikhlas. Tapi, jika mengerjakan shalat semata-mata mengharap rida atau senyum Allah, tanpa mengharap balasan dari-Nya, tentu lebih tinggi tingkatan keikhlasannya. Yang pertama disebut ikhlas ‘abidin (ikhlas sebagai hamba melaksanakan perintah Tuhannya). Sedangkan yang kedua disebut ikhlas muhibbin (ikhlas mengerjakan perintah atas dasar hormat dan cinta semata). 

Sebagai ilustrasi, misalnya ibu punya dua anak. Yang pertama selalu meminta upah jika disuruh mengerjakan sesuatu, sedangkan anak kedua mengerjakannya tanpa meminta imbalan apa pun, maka ibu pasti lebih mencintai anak yang kedua. 

Yang pertama mengerjakan perintah ibu karena harapan upah, sedangkan anak kedua semata-mata karena taat, hormat dan cinta, bukan karena upah. Tapi, kedua anak ibu termasuk anak yang baik, sebab sama-sama mengerjakan perintah ibu. Wallahu ta’ala a’lam.

Penulis : Prof. Dr. H. Moh. Ali Aziz, M.Ag