Kembali
image
Keislaman

Belajar Untuk Tega Pada Anak

2 tahun yang lalu ● Dibaca 169x

Datang kepada saya seorang kawan untuk memperoleh dukungan atas keputusan sangat berat yang dia ambil pada anaknya, yaitu menghentikan transfer uang jatah bulanan. 

Baginya, sangat berat keputusan ini diambil, karena dirinya selama hidup memiliki segalanya, hidupnya serba cukup dan tidak mengalami penderitaan pedih barang sehari pun. Namun, kali ini sebagai orang tua, ia merasa harus melakukan sesuatu yang ”ekstrem” pada anak laki-lakinya yang sedang kuliah semester akhir di Kota Malang. 

“Aku kadang berpikir, gara-gara hidupku berkecukupan sehingga sulit memiliki alasan untuk tidak memberi pada anakku, nyaris semua yang diminta saya penuhi. Aku pun kadang menyesal, mengapa dulu aku tidak melepasnya sekalian merantau jauh dari rumah agar aku tidak mudah menyaksikan keadaannya?” keluh kesahnya.

Memang ketika memutuskan untuk sekolah ke luar kota, keputusan akhirnya adalah jangan keluar dari Provinsi Jawa Timur dengan tujuan agar dia dan istrinya gampang untuk menjenguknya. Termasuk dalam memenuhi jumlah nominal bulanan yang ditransfer, juga terbiasa melebihi budget yang telah disepakati. Terngiang di kepala keduanya prinsip “anakku ojo sampe keluwen (anakku jangan sampai kelaparan)”. Karena itulah, dia dan istrinya tidak pernah mempersoalkan berapa uang yang diminta oleh anaknya, pasti langsung transfer. 

”Saya sadar, ini cara mendidik yang tidak baik untuk melatih kemandirian anak. Tetapi, saya dan istri tidak kuat menahan diri untuk tidak memberinya,” curhatnya.

”Pernah suatu ketika, saya tahan untuk tidak memenuhi permintaannya dengan maksud untuk memberi pembelajaran. Tetapi, yang terjadi pada saya dan istri, semalaman tidak bisa tidur, diliputi rasa cemas dan khawatir tentang bayang-bayang kesulitan yang dialaminya,” lanjut ceritanya. 

”Perasaan bersalah terus menghantui saya dan istri jika tidak segera memenuhi permintaannya. Saya punya mengapa tidak memberi, saya mampu mengapa tidak melakukannya. Kalau terjadi apa-apa, kan saya juga yang salah. Perasaan seperti itu yang sering mengalahkan kesadaran logis kami,” jelasnya penuh emosi. 

Curhatan panjang bersama istrinya terus saja dituturkan, saya hanya mendengarkan dan sesekali saja menimpali. Dia sudah mengambil keputusan yang benar walaupun sangat berat menurut versinya. Saya berusaha untuk tidak membandingkan dengan anak saya atau anak teman yang lain karena bisa menyinggung perasaannya.

Orang tua dalam mendidik anak seringkali membutuhkan momentum yang tepat, ibarat jangan jualan es di saat hujan. Karena ketika momentumnya tidak tepat, sikap atau tindakan yang dilakukan orang tua pada anak akan kehilangan makna, bahkan bisa berubah menjadi penolakan. 

Ketika anak-anak memperoleh suapan tetapi tidak pada saat membutuhkan, maka reaksi mereka akan menolak, dimuntahkan bahkan sangat mungkin disemburkan, meskipun orang tua memberi sesuatu yang baik, sehat, dan bermanfaat. 

Bahkan, saking pentingnya momentum bagi anak-anak, pengaruhnya melebihi sesuatu yang diberikan oleh orang tua, baik sesuatu itu berwujud kata-kata, perhatian, ataupun sejumlah materi. Nasihat orang tua pada anak bisa bermakna pengekangan, yang mendorong munculnya bantahan dan perlawanan. 

Demikian pula halnya pemberian uang, bisa bermakna memanjakan, yang melahirkan lemahnya daya juang pada diri anak. Ashlihlii dzurriyatii ya Allah.

Penulis : Ustaz H Mim Saiful Hadi, M. Pd. (Sekretaris Yayasan Nurul Falah)