
Belajar Dari Kisah Qabil dan Habil
Keputusan final di pengadilan mengabulkan gugatannya dan mengharuskan saudaranya yang selama ini bersama-sama membesarkan lembaganya menjadi pihak tergugat, divonis bersalah karena telah melakukan tindakan hukum yang menimbulkan kerugian miliaran rupiah.
Ia harus menyerahkan tanah dan rumah yang ditinggali bersama keluarganya selama ini, pada pengadilan untuk disita sebagai ganti rugi, atas tindakan melawan hukum didakwakan padanya. Ia terpaksa mengevakuasi keluarganya dan mengangkut semua harta bendanya keluar dari rumahnya sendiri. Tidak seorang pun tega menyaksikannya peristiwa mengharukan tersebut.
Ada kabar beberapa pekan kemudian, ada putusan dari penggugat yang memenangkan perkaranya datang menemui dirinya untuk mempersilakan kembali menempati rumahnya. Tetapi, tampaknya tidak berlanjut penyelesaian tersebut, entah apa sebabnya, karena rumah masih tampak kosong dan tertempel sebuah sticker “Rumah Dalam Sitaan Pengadilan”.
Perselisihan dua orang saudara, dua orang sahabat, dua orang pemegang saham, bukanlah kisah yang hari ini baru terjadi, bukan pula peristiwa baru yang langka, sangat mudah menemukan padanannya. Perseteruan dua orang atau dua pihak sejak zaman Habil dan Qabil telah ditunjukkan oleh Allah sebagai pelajaran penting, realitas yang akan dihadapi oleh manusia dalam menjalani hidup di dunia, khususnya dalam mengelola perselisihan.
Tidak ada jaminan dua orang hidup berdampingan tanpa perselisihan sepanjang hidupnya, sebaik atau sesabar apapun dia, pastilah mengalami perselisihan. Perselisihan dua pihak tidak akan membesar tanpa ada keterlibatan pihak ketiga, pihak ketiga adalah syetan, atau yang bersekutu dengan syetan.
Awalnya kedua belah berselisih pada pihak Salah atau Benar, tetapi dalam perkembangannya bisa menjadi “salah dan sesat (salah banget)”, ketika keduanya bersekutu dengan nafsu dan syetan. Persekutuan inilah yang mengubah hukum dari Salah-Benar menjadi Menang-Kalah.
Bila Menang-Kalah yang digunakan sebagai norma acuan, maka yang Menang adalah yang Benar dan yang Kalah adalah yang Salah. Dalam keadaan seperti ini, tidak lagi berlaku kebenaran ilmiah, hubungan darah, hubungan akidah, apalagi hanya norma sosial.
Mari renungkan, bila kita dalam perselisihan tidak lagi menghadirkan Allah, tidak ada lagi ikatan persaudaraan, kebenaran ilmu dan mengabaikan rasa kemanusiaan, lantas siapa atau pihak mana lagi yang akan memandu dalam menyelesaikan setiap perkara yang kita hadapi.
Contoh kecil, dari kawan jamaah shalat di masjid, ia selalu melepaskan beban pikirannya bila uangnya ditilap, dibawa lari, atau dikhianati dalam transaksi usahanya, dengan tetap menghadirkan Allah. Ia mengikat kuat keyakinannya bahwa Allah tidak pernah keliru membagi rezeki pada makhluk-Nya. Ia merelakan begitu saja dan sama sekali tidak meminta koleganya yang penegak hukum untuk mengejarnya.
Ternyata benar, Allah mengembalikan padanya, dengan cara-Nya yang luar biasa, dengan jumlah yang berlipat ganda, pada saat yang sangat tepat. Ketika semua usahanya sekarat, Allah mendatangkan orang-orang yang telah ngemplang duitnya, dengan jumlah yang tak terbayangkan, bahkan beberapa orang yang mendatanginya, sudah tidak dikenali lagi. Ia tetap santai, shalat di masjid, ngopi dan sesekali kulineran bersama jamaah lainnya.
Sungguh cara kita menghadapi dan menyelesaikan masalah yang menimpa menentukan risiko dan akibat yang menyertainya. Tidak pernah ada satu perkara berdiri sendiri, ada radius dampak yang ditimbulkannya atau panjang kait mengkait dengan masalah yang lainnya.
Betapa sangat terbatas daya jangkau kita untuk mengetahui batas dan ruang lingkupnya, maka setidaknya dalam memilih cara atau meminta bantuan tidak mendengarkan pada bisikan dan rayuan nafsu amarah kita. Yassir lana ya Allah ‘alaa kulli amrina.