
Banggakan Anak Cerdas Spiritual
Di sebuah panggung wisuda sekolah menengah atas, seorang guru mengumumkan surat keputusan kelulusan untuk siswa-siswinya. Ia membacakan satu demi satu nama-nama lulusan siswa- siswinya. Beberapa kali panggung bergemuruh karena tepukan tangan hadirin yang menyemangati putra- putrinya diterima di perguruan tinggi favorit dengan berbagai jurusan bergengsi mulai dari jurusan ekonomi, hukum, sains, dan kedokteran.
Namun, dalam sesi berikutnya yang membuat saya tertegun dari sekian kali sang guru menyebut nama siswa- siswi yang diterima di perguruan tinggi agama dengan jurusan-jurusan agama (tarbiyah dengan berbagai jurusannya, syariah, dan lain-lain) tepukan yang tadinya menggelora di awal-awal seolah semakin mengecil dan menghilang karena tidak bersemangat.
Mengapa itu terjadi? Sebab, sebagian kecil orang tua masih menganggap bahwa kesuksesan anak itu ditentukan dari bonafit atau tidaknya jurusan yang dipilih di perguruan tinggi. Tentunya anggapan di atas tidaklah semua benar.
Di era milenial, selain multiple inteligencia (kecerdasan jamak) yang perlu dipupuk dan ditingkatkan kualitasnya adalah kecerdasan spiritual. Kecerdasan religius sangat dibutuhkan oleh seorang anak sebagai landasan kekuatan mentalitas rohani dan agama untuk menghadapi dunianya ke depan.
“Orang yang cerdas adalah mereka yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal (berbuat) untuk masa sesudah mati, Sedang orang yang lemah ialah mereka yang mengikuti nafsunya dan berangan-angan kepada Allah” (HR Ahmad).
Kecerdasan seseorang dapat diukur dari kemampuannya dalam mengendalikan hawa nafsunya (cerdas emosi) dan mengorientasikan semua amalnya pada kehidupan sesudah mati (cerdas spiritual). Mereka yakin bahwa ada kehidupan setelah kematian, mereka juga percaya bahwa setiap amalan di dunia sekecil apa pun akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
Keyakinan tentang keabadian menjadikannya lebih berhati-hati dalam menapaki kehidupan di dunia ini. Sebab, mereka percaya bahwa kehidupan ini tidak sekali di dunia ini saja, tapi ada kehidupan yang lebih hakiki. Dunia adalah tempat menanam, sedangkan akhirat adalah tempat memanen. Siapa yang menanam padi akan menuai padi. Siapa yang menanam angin akan menuai badai.
Tidak hanya bersikap hati-hati, orang yang cerdas spiritualnya lebih bersemangat, lebih percaya diri, dan lebih optimistis. Mereka tidak pernah ragu-ragu berbuat baik, sebab jika kebaikannya tidak bisa dinikmati saat di dunia mereka masih bisa berharap mendapatkan balasannya di akhirat nanti. Jika tidak bisa dinikmati sekarang, amal kebaikan itu akan berubah menjadi tabungan atau deposito secara otomatis yang kelak akan dicairkan justru pada saat mereka sangat membutuhkan di alam kehidupan sesudah mati.
Saat menanam pohon, misalnya mereka sangat antusias. Mereka yakin jika pohon tersebut nantinya berbuah tidak ada yang sia-sia sekalipun buahnya dimakan burung atau dimakan orang lain. Sekalipun ia tidak menikmati buah itu di dunia ini, ganjarannya akan dipetik di akhirat nanti. Orang- orang ini, ketika melihat ketidakadilan di dunia tidak segera putus asa.
Ciri orang yang cerdas sebenarnya telah tampak jelas dalam derap langkahnya, ketika mereka membuat rencana, saat mengeksekusi rencananya dan pada saat melakukan evaluasi. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari saat sendirian atau dalam interaksi sosialnya nampak wajahnya yang senantiasa bercahaya, memancarkan energi positif, menjadi magnet power, penuh motivasi, menjadi sumber inspirasi, dan berpikir serta bertindak positif.
Mereka akan bersikap baik dan benar baik ketika di tengah keramaian maupun di saat sendirian karena dimanapun dia berada merasa dilihat oleh Allah.
Orang seperti ini mempunyai integritas (totalitas pada nilai-nilai kebenaran), sesuai antara hati, kata dan perbuatannya. Selaras antara apa yang ada dalam hatinya, ucapan dan perbuatannya yang bertumpu pada nilai-nilai kebenaran.
Kita berharap anak-anak ke depan sukses dunia dan akhiratnya. Sukses kehidupannya sesuai bidang yang ditekuni tetapi tetap menjadi hamba Allah yang senantiasa taqarrub kepada Rabb-nya. Sehingga kapanpun dan dimanapun posisinya kelak mereka memiliki manfaat dunia dan ukhrawi terlebih untuk keluarga dan orang- orang terdekat dan masyarakat umumnya. Itulah harapan besar bagi setiap pendidik dan para orang tua.
Tentu kerja keras pembiasaan sejak dini harus ditanamkan kepada setiap anak. Imam Tirmidzi pernah meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas ra bahwa beliau berkata, ”Pada suatu hari aku pernah berada di belakang Nabi, kemudian beliau Bersabda: “Wahai anak muda, sungguh akan kuajarkan engkau beberapa kalimat. Jagalah Allah niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Apabila engkau ingin meminta, mintalah pada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pada Allah. Ketahuilah, andaikan saja seluruh umat ini berkumpul untuk memberikan kemanfaatan kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untuk dirimu. Dan Andai saja mereka bersatu untuk menimpakan kemudharatan itu terhadap dirimu, tentu mereka tidak akan bisa, memberikan kemudharatan itu terhadap dirimu, kecuali dengan sesuatu yang Allah telah tetapkan atas dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”
Hadits ini memiliki kekuatan yang besar dalam memecahkan permasalahan-permasalahan anak karena pengaruh yang diberikannya serta roh yang terkandung di dalamnya sangat dahsyat.
Semoga Allah SWT menganugerahi kepada anak-anak kita gabungan tiga kecerdasan sekaligus, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan emosional. Aamiin. (Drs. H. Subiyanto)