
Bahaya Pencitraan Bagi Diri
Akhir-akhir ini, kata pencitraan menjadi salah satu trending topic di jagat dunia maya dan berbagai lini masa pemberitaan. Dalam dunia politik, pencitraan menjadi laa budda, yakni tidak bisa tidak, siapapun dia meski dengan prestasi selangit karena kompetensi yang dikuasai, tapi karena citranya buruk, maka seolah tidak ada kebaikan sedikitpun, bahkan menjadi orang yang paling bodoh sedunia.
Sebaliknya, orang yang hanya dengan sedikit kelebihan, menempati puncak trending topic, meraih puncak rating di jagat alam maya, karena citranya di-blow up habis-habisan oleh media, hingga ia tak ubahnya manusia istimewa hidup tanpa keburukan dan kelemahan.
Seorang pesohor, artis, atau sosialita demi menjaga citra dirinya rela menghabiskan belanja miliaran rupiah untuk menjaga penampilannya, dari ujung kaki hingga ujung rambut bahkan makan dan minum pun nawaitu-nya untuk menjaga penampilannya. Rela berlama-lama di ruang paes atau berkeliling puluhan kali putaran di outlet aksesori bukanlah kesia-siaan, bahkan sebuah kepuasan paling dinikmati.
Atau seorang figur publik, politikus, motivator, host, public relation merupakan deretan orang yang membutuhkan pencitraan yang positif bahkan tebar penuh pesona pada setiap kesempatan yang ada. Betapa banyak kita lihat deretan foto di pinggir jalan, dengan senyum, tangan mengepal, kepala didongakkan entah pose model apa lagi, yang pasti hal tersebut dilakukan untuk melahirkan citra diri yang menarik, meraup simpati dari semua orang yang melintasi.
Sifat ‘ujub merupakan bisikan dahsyat yang menghancurkan citra diri paling suci dan mulia dalam diri setiap manusia. Kemulian diri yang secara fithrah disenyawakan oleh Allah dengan sifat dasar manusia akan lepas bahkan akan berganti menjadi kehinaan dan kebiadaban.
Bila sifat ‘ujub telah merasuki diri, upaya-upaya membangun citra diri agar menjadi lebih simpatik, diri pribadi dipenuhi dengan sifat-sifat baik yang menarik setiap perhatian bahkan seutas senyum akan menginspirasi siapapun yang melihatnya akan berubah ke dimensi kebalikannya.
Wajahnya memuakkan. Sorot matanya menebar kebencian. Senyumnya memicu rasa dengki dan permusuhan. Segala yang dilakukan hanya menyemai benih kedustaan. Hipokrit dan munafik yang pantas disematkan pada dada dan kepalanya.
Kebaikan seperti apa yang dapat dibangun dengan sikap hipokrit? Kemuliaan seperti apa yang dapat diraih dengan kemunafikan?
Ibarat rasa manis yang dihasilkan oleh obat gula atau masakan dengan rasa sedap karena penyedap rasa, sungguh semua hanya akan menabung rasa kecewa dan perih di kemudian hari. Penyakit dan kerusakan belaka yang akan didapat dihari kelak.
Masihkah kita membangun peradaban ini dengan kemunafikan? Sungguh azab dan bencana dan kehancuran akan menimpa anak cucu kita. Mereka akan memuja para pahlawan kemerdekaan dan menyumpah serapahi kita para penikmat kemerdekaan.
Orang tua yang membangun keluarganya dengan kemunafikan hanya akan melahirkan derita pada masa depan anaknya. Mereka hidup hanya untuk menjaga nama besar. Kekayaan dengan cara apa saja tidak peduli dengan iman dan kemuliaan. Bukan surga yang diwariskan, tapi hanya pedihnya siksa neraka. Wallahu a’lam bisshawab. (Ustd. Mim Saiful Hadi)