Kembali
image
Keislaman

Anakku Jatuh

2 tahun yang lalu ● Dibaca 222x

Beberapa hari yang lalu, teman kerja sekantor tergopoh-gopoh berbicara dengan smartphone-nya. Sehingga seluruh ruangan tersentak dan mendekat padanya. ”Anakku jatuh.” Dia berteriak spontan karena mendapat kabarnya anaknya yang baru masuk kerja belum sebulan mengalami kecelakaan cukup fatal. 

Setelah mengakhiri panggilan teleponnya, ia lantas bercerita bahwa anak laki-lakinya yang barusan wisuda dari sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di Surabaya sudah diterima kerja di sebuah lembaga perusahaan di Kota Batu. Kecelakaan yang menimpa anaknya adalah kecelakaan tunggal ketika naik sepeda angin di dalam areal perusahaan. 

Beberapa teman yang lain tampak keheranan, ”Masak iya sih, kecelakaan sepeda angin bisa sefatal itu?”

Lukanya memang serius, sebanyak 7 biji gigi depannya, baik yang bagian atas maupun bawah, patah dan rompal (Jawa = lepas hingga akarnya), bibir atasnya mengalami luka robek cukup lebar, ditambah dengan ada pecahan gigi yang nancap di bibir atas. Foto yang dikirim teman yang menolongnya miris banget. Betapa tidak, darah segar membasahi baju putih yang dikenakannya, dari mulutnya tampak darah menetes deras. 

Flashback ke masa sebelumnya, semasa sekolah dulu, istrinya sering mengingatkan anaknya, ”Jangan naik sepeda, nanti jatuh...” Hingga saat kuliah, tidak jarang dia atau istrinya mengantar kuliah, bahkan dalam keadaan ngantuk sekalipun, baik dengan mobil dan pernah pula dengan dibonceng motor. 

Cara memperlakukan anak di masa tumbuh kembang, usia anak hingga remaja, sangat menentukan ketuntasan fisik motorik dan psikologis anak. Rasa khawatir berlebihan atau sayang yang keterlaluan dengan berbagai alasan banyak merugikan anak pada masa berikutnya. 

”Nak, kamu jangan suka keluar, nanti diculik lho ....” Atau ”Anakku tidak boleh susah, cukup aku saja yang susah...” adalah contoh ucapan orang tua yang sangat merusak bagi tumbuh kembang fisik dan psikis anak.

Bila di masa kanak-kanak tidak pernah merasakan jatuh, maka ketika jatuh di usia dewasa, tidak tahu apa yang harus dilakukan, bahkan bisa-bisa sangat lemah refleknya untuk melakukan merespons penyelamatan dirinya. 

Demikian pula halnya bila di masa kanak-kanak hanya ”mudah” dan ”gampang” yang dialami, maka ketika menghadapi sedikit kesulitan, hanya putus asa yang terikirkan. Maka, sekarang banyak kita dengar seorang pemuda mengucilkan diri dari pergaulan, menyakiti diri sendiri, bunuh diri, gara-gara tidak lulus ujian sekolah. 

Sebagian orang berpendapat, ”Orang tua kok tega pada anaknya”, padahal sesungguhnya sedang memberikan kesempatan belajar pada anaknya. Belajar melakukan sesuatu atau belajar merasakan sesuatu adalah proses penting yang harus dialami oleh anak-anak, karena pengalaman yang diperolehnya sangat berguna untuk membentuk sikap dan menentukan pilihan tindakan yang diambil pada masa berikutnya.

Orang tua yang tidak memberi kesempatan pada anak-anak untuk mengalaminya sesungguhnya mereka adalah orang tua yang tidak paham dengan kebutuhan anaknya atau hanya mengutamakan kepuasan pribadinya, tega anaknya menanggung penderitaan di usia dewasa. 

Sesungguhnya darah yang menetes dari jari mungil ananda karena tergores pisau dapur sudah cukup menjadi pelajaran bagi anak-anak untuk menyelamatkan diri dari aneka bahaya benda-benda tajam. Demikian pula halnya tetesan air mata karena rebutan es krim dengan saudaranya, sudah cukup untuk mengajari bagaimana seharusnya peduli dan berbagi. 

Hal sama pula, kakinya yang memar dan kulitnya membiru karena jatuh ketika belajar sepeda, sesungguhnya sudah cukup mengajari mereka bagaimana sikap berani mengambil keputusan dan mengukur risiko. Rabbii hablii minassholihiin.

Penulis : Ustaz. H. Mim Saiful Hadi, M. Pd

Anakku Jatuh