
Anak Mbarep
Sudah menjadi budaya dalam kehidupan kita bahwa anak sulung atau anak mbarep (bahasa: Jawa) menjadi tumpuan dan di pundaknya disampirkan berbagai harapan. Anak mbarep akan menjadi tolok ukur bagi anak kedua dan seterusnya.
Tidak sedikit orang tua yang menaruh harapan berlebihan, hingga ananda merasa terbebani dan membuatnya sangat berat untuk menjalaninya. Termasuk di antaranya yang dialami oleh sahabat dekat saya. Saat terjadi obrolan antara keduanya, anak pertamanya menyampaikan keberatannya jika tugasnya harus ikut menanggung beban keluarga yang kelak di masa depan.
”Kok berat banget, Pak, menjadi anak mbarep...” keluhnya dengan memelas.
Menyadari sudut pembicaraan dengan anaknya berada pada suasana yang tidak nyaman, buru-buru menyampaikan nasihat padanya.
”Kamu menjadi anak pertama, bukan karena keinginanmu dan bukan pula keinginan Bapak Ibu. Engkau menjadi anak pertama karena Allah yang memilihmu. Berarti Allah memberimu bekal dan keunggulan yang tidak dimiliki oleh adik-adikmu.” Walaupun ia tidak menyerah dengan kalimat lain, tetapi raut wajahnya menandakan menerima terhadap nasihat yang disampaikan ayahnya.
Harapan yang berlebihan orang tua pada anak pertama menimbulkan dampak yang sebaliknya. Anak bukannya semakin siap dan kuat untuk menatap masa depan, tetapi malah minder dan tidak bertanggung jawab. ”Sama-sama anaknya, kenapa harus saya yang nanggung....?” Demikian sebagian ungkapan penolakan atas permintaan orang tuanya.
Bila orang tua mengharapkan anaknya benar-benar mampu memenuhi harapan, maka dua langkah sekaligus yang sebaiknya ditempuh, khususnya pada anak mbarep, yaitu Menguatkan Pundaknya dan Memilihkan Bebannya.
Menguatkan pundak artinya secara fisik dan mental anak-anak dididik, dilatih, dan dibimbing untuk memiliki ketangguhan dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam hidupnya. Banyak orang tua zaman sekarang yang menyebut hal ini merupakan bagian tersulit. Mayoritas orang tua ingin anaknya hidup bergelimang kenyamanan, sampai-sampai ada kalimat ”Biarkan orang tua yang sengsara, asal anak bisa hidup enak dan nyaman”. Pandangan hidup ini akan menjadi bumerang dalam membangun ketangguhan pada diri anak. Bila ”pundaknya” lemah, maka beban sekecil apa pun akan menjadi berat dan ujungnya adalah ia melepas tanggung jawabnya.
Memilihkan beban adalah memberikan tantangan, memberinya kesempatan merasakan sulit dalam menghadapi masalah apapun, sesuai dengan kesiapan dan kemampuan anak. Bukanlah solusi terbaik bila orang tua mengambil alih untuk mengerjakan PR ketika anak mengalami kesulitan dan bukan pula tindakan ksatria bila anak bertengkar dengan anak lain, orang tua datang menggantikan tempat anaknya untuk membalaskan rasa sakit anaknya pada kawan si anak yang telah memukulnya. Atau hancurlah cita rasa kepribadiannya, ketika menjadi mahasiswa, ibunya masih saja yang membelikan baju yang dikenakan anaknya.
Ketidakmampuan orang tua, atau ketidakbersediaan orang tua, dalam memanfaatkan setiap tahapan perkembangan hidup anaknya, dengan menghadirkan pengalaman hidup yang beragam, dari yang sulit hingga yang mudah, justru akan mematikan kekuatan dirinya dalam menghadapi cobaan hidup yang pasti akan dihadapi di masa depan.
Menokohkan anak pertama sebagai role model bagi adik-adiknya bukan hal yang buruk atau salah, bisa baik dan benar, tetapi syarat pentingnya harus dipenuhi oleh para orang tua. Keberhasilan menjadikan anak pertama sebagai role model bagi saudaranya yang lebih muda, akan sangat meringankan tugas pengasuhan orang tua pada semua anak yang Allah amanahkan pada setiap keluarga. Wallahu a’lam bishawab.
Penulis :Ustd. H. Mim Saiful Hadi, M. Pd