
Membangun Ketaatan
“Pikiran apa yang menggelayuti benak Anda ketika mendengar kata ”taat”? Sesuatu yang mengekang atau memudahkan? Tentu saja setiap orang memiliki jawaban dan pengalaman yang tidak sama”
Mengutip sebuah iklan: Taat cuma kalo ada yang liat. Benarkah? Bisa jadi iklan tersebut terinspirasi dari keseharian kita. Lihat saja, orang akan menyeberang melalui jembatan layang atau zebra cross ketika ada polisi, akan belok sesuai rambu-rambu ketika ada polisi, akan datang tepat waktu ketika diperhatikan pemimpin. Bahkan, anak kecil akan taat terhadap perintah orang tua sepanjang mata orang tua melihatnya.
Ada orang yang tahu menyuap itu tidak boleh, tetapi ia tetap saja melakukannya dengan berbagai alasan. Kita tahu berbohong itu tidak diperbolehkan bahkan sudah jelas Allah SWT melarang kita berdusta, tetapi masih sering kita melakukannya. Ketika ditanya ”mengapa terlambat?”, alasannya macet. Padahal, kita tahu tidak ada jalanan yang lenggang di kota. Berbagai alasan kompromi dilontarkan untuk membenarkan perbuatan kita dan memaksa orang lain memaklumi kondisi kita.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan keteraturan hidup. Tidak hanya dalam hal hubungan kepada Allah SWT, pengaturan dalam berinteraksi dengan sesama pun diatur sedemikian cermatnya. Termasuk taat. Banyak perintah taat yang harus kita ikuti. Taat sering diartikan dengan patuh atau tunduk. Taat bisa dikaitkan dengan perintah dan larangan. Ada perintah untuk taat dan ada larangan untuk taat. Bila merujuk pada Alquran, objek taat ada tiga, yaitu Allah, Rasul, dan penguasa atau pemimpin (ulil amr). Tiga objek ini terdapat dalam Alquran surat An Nisa ayat 59. Dalam tafsir Ibn Katsir, dijelaskan bahwa taat kepada Allah adalah menggunakan Alquran sebagai pedoman hidup. Taat kepada-Nya karena Rasultelah diutus Allah untuk menjelaskanperintah dan larangan- Nya agar manusia dapat mengerti dan mengamalkannya.
Oleh sebab itu, beliau adalah suri tauladanyang harus wajar diikuti. Taat kepada penguasa ialah mematuhi peraturan-peraturan yang dibuatnya,selama peraturan itu dibuat berdasarkan musyawarah dan tetap sejalan dengan ajaran Alquran dan sunah Nabi. Artinya, ketaatan kepada Allah dan Rasul itu mutlak sedangkan pada ulil amri bersyarat. Mutlaknya taat kepada Allah SWT sudah diteladankan Nabi Ibrahim. Dengan luar biasa Alquran menceritakan pengorbanan dan ketaatan Nabi Ibrahim. Sebesar apa pengorbanannya? Sedalam apa ketaatannya pada Allah? Tentu kita tidak lupa apalagi sangsi dengan pengorbanan Nabi Ibrahim yang meninggalkan siti Hajar di tempat yang tandus dan kering. Pengorbanannya yang lain adalah ketika hendak menyembelih Nabi Ismail, semua itu tentu dalam rangka menjalankan perintah dan ketaatannya kepada Allah. Bagaimana bisa Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Nabi Ismail begitu patuh terhadap Allah? Tentu ada suatu dorongan keyakinan yang teguh yang dimiliki mereka. Bagi Hajar, ketika ia mengetahui Nabi Ibrahim meninggalkannya di lembah yang tandus dan kering karena perintahAllah, ia yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakannya.
Ketaatan dan kepatuhan yang luar biasa membuat Nabi Ibrahim memiliki kelebihan yang disebut Allah dalam surat An Nahl ayat 120. ”Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” Kenapa disebut sebagai seorang imam?
Amru Khalid dalam bukunya, Membaca Kisah Mengungkap Hikmah Teladan Para Nabi, menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim disebut demikian karena ketaatannya kepada Allah. Ibadahnya kepada Allah sama dengan satu kaum yang beribadah dan yang taat kepada Allah.
Kata ”Imam” disematkan kepada Nabi Ibrahim, lanjut Amru Khalid, karena memiliki tiga makna. Pertama, ibadah dan ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah sama dengan ibadah serta ketaatan semua umat manusia yang melakukan ibadah di masjid dan semua umat yang tinggal di semua negeri yang ada di dunia ini. Kedua, kebaikan yang dianugerahkan kepada Nabi Ibrahim sama besarnya dengan pahala yang diberikan kepada semua umat manusia. Ketiga, melalui hidayah Nabi Ibrahim ini, banyak umat yang mendapatkan hidayah Allah. Sementara taat kepada rasul adalah kewajiban setelah taat kepada Allah SWT.
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, ”Apa yang kularang bagi kalian hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang kuperintahkan kepada kalian maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kebinasaan orang-orang yang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan merekapun banyak menentang nabi-nabi mereka.” Lalu taat kepada ulil amr atau pemimpin. Siapakah pemimpin yang dimaksud? Tentu dia adalah seseoran yang ditunjuk untuk memimpin pasukan, atau kelompok, atau suatu negara. Lalu kriteria seperti apa bagi seorang pemimpin yang patut untuk ditaati?
Ketaatan terhadap pemimpin adalah dalam rangka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka wajib ditaati selama tidak melanggar syariat. Apabila perintahnya dalam kemaksiatan tentu kita tidak boleh mentaati. Rasulullah SAW bersabda, ”Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah” (HR Ahmad). Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ayat 59 surat An Nisa turun karena Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin ’Adi, ketika diutus oleh Rasulullah SAW di dalam satu pasukan khusus. Imam Ahmad meriwayatkan dari ’Ali, ia berkata: ”Rasulullah SAW mengutus satu pasukan khusus dan mengangkat salah seorang Anshar menjadi komandan mereka. Tatkala mereka telah keluar, maka ia marah kepada mereka dalam suatu masalah, lalu ia berkata: ’Bukankah Rasulullah SAW memerintahkan kalian untuk menaatiku?’ Mereka menjawab: ’betul’. Dia berkata lagi, ’Kumpulkanlah untukku kayu bakar oleh kalian.’ Kemudian ia meminta api, lalu ia membakarnya dan ia berkata, ’Aku berkeinginan keras agar kalian masuk ke dalamnya’. Maka seorang pemuda di antara mereka berkata: ’Sebaiknya kalian lari menuju
Rasulullah dari api ini. Maka jangan terburu- buru (mengambil keputusan) sampai kalian bertemu dengan Rasulullah SAW. Jika beliau perintahkan kalian untuk masuk ke dalamnya, maka masuklah.’ Lalu mereka kembali kepada Rasulullah SAW dan mengabarkan tentang hal tersebut”. Rasulullah SAW kemudian bersabda kepada mereka, ”Seandainya kalian masuk ke dalam api itu, niscaya kalian tidak akan keluar lagi selama-lamanya. Ketaatan itu hanya pada yang ma’ruf.” Bagaimana dengan kita? Tentu saja tetap wajib mendengarkan apa yang diinstruksikan pemimpin kepada kita, selama itu untuk kemaslahatan umat atau khalayak. Abu Dawud meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Dengar dan taat adalah kewajiban seorang muslim, suka atau tidak suka, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR Bukhari Muslim).
Adapun pemimpin yang ditaati harus memiliki ciri dan sikap yang telah dicontohkan Nabi SAW. yakni amanah, menaati Allah dan rasul-Nya. Pemimpin yang didengar dan ditaati tidak hanya pemimpin Negara. Terhadap pemimpin lembaga atau perusahaan pun kita harus melaksanakan apa yang diperintahkan Rasul. Misalnya, dengan mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan lembaga. Kepada pemimpin keluarga pun ketaatan kita tidak boleh dibedakan. Baik istri terhadap suami dan anak kepada orangtuanya. Hal yang paling utama kita taati adalah diri sendiri. Bagaimana hal itu terjadi? Membangun ketaatan kepada siapapun tidak akan terjadi bila kita tidak bisa disiplin mentaati apa yang menjadi pedoman hidup kita. Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang memperlihatkan betapa disiplin diri itu sangat diperlukan.
Seseorang yang ingin bisa membaca serta menghafal Alquran, misalnya, tanpa disiplin yang tinggi dalam mengagendakan waktu belajar, kemauan kuat, dan kerja keras, akan sulit melakukannya meski sudah berupaya bertahun-tahun. Dengan mengikat disiplin diri di dalam pikiran dan hati, taat mampu kita laksanakan. Rahmat dan anugerah nikmat akan kita dapatkan tatkala kita taat kepada Allah dan rasul-Nya. Siti Hajar, misalnya, ia mendapatkan nikmat berupa air zam-zam dan kawan baru di lembah yang tandus dan gersang tersebut. Tentu ini adalah buah ketaatan beliau kepada Ibrahim a.s dan Allah SWT. Setelah mendengar dan mengetahui banyaknya anjuran untuk taat, tugas kita kemudian adalah bersegera.
Dosen Tafsir Sekolah Tinggi Al Hikmah Jakarta, Dr. Amir Faishol Fath mengungkapkan, Kata bersegera ini disebut oleh Allah dengan tiga istilah: (1) wasaariuu ilaa mangfiratinmin rabbikum (bergeralah kalian untuk meraih ampunan dari Tuhan kalian), (2) wassaabiquu (berlombalah) atau fastabiquul khairaat (berlombalah dalam kebaikan), (3) tanaafasa, Allah berfirman: wafii dzaalika fal yatanafasil mutanaafisuun (dan dalam menuju kenikmatan surga hendaklah mereka bersaing). Ini menunjukkan bahwa dalam menaati Allah tidak cukup seorang hamba hanya dengan patuh seenak dirinya, melainkan harus bersegera dan mengutamakannya di atas segala kesibukan apa pun. Kita memohon kepada Allah SWT agar menetapkan hati kita untuk teguh menaatinya, menaati rasul-Nya, dan mentaati pemimpin yang mengajak pada kebaikan. ”Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.”